KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perluasan kerja sama penggunaan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) diyakini membawa dampak positif terhadap nilai tukar rupiah. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, makin banyak negara yang dirangkul untuk menjalin kerja sama LCT, maka akan menekan ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). "Makin banyak negara makin bagus. Ini bisa menekan gejolak rupiah terhadap dolar AS," tutur David kepada Kontan.co.id, Senin (23/1).
Baca Juga: Kerja Sama LCT dengan Korsel dan India Bisa Bantu Topang Rupiah Ia mengambil contoh negara yang bisa dijajaki oleh Indonesia. Menurutnya, negara-negara di satu kawasan seperti Vietnam dan Filipina cukup berpotensi. Kemudian, negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga baiknya dirangkul oleh Indonesia. "Karena kita banyak memberangkatkan haji, banyak juga impor minyak, serta makin banyak ekspor manufaktur sehingga bisa memperluas," tegas David. Selain itu, negara-negara yang berada dalam jajaran 10 negara yang memiliki kerja sama perdagangan terbesar dengan Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Hingga saat ini, Indonesia sudah menjalin kerja sama LCT dengan empat negara, yaitu Thailand, Malaysia, Jepang dan China. Saat ini, Bank Indonesia (BI) menyebut tengah dalam proses penjajakan kerja sama LCT dengan dua negara, yaitu Korea Selatan dan India. Sementara hingga saat ini, Indonesia sudah menjalin kerja sama LCT dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan juga China. Menurut David, bila kesepakatan LCT dengan kedua negara tersebut berhasil diterapkan dalam waktu dekat atau minimal tahun ini, tentu dampaknya positif terhadap nilai tukar rupiah. "Jadi, ini akan mengurangi ketergantungan dengan dolar Amerika Serikat (AS). Karena masih banyak ketidakpastian prospek nilai tukar rupiah pada tahun ini," tambah David.
Baca Juga: BI Catat Total Transaksi Penggunaan Mata Uang Lokal Naik 52% pada Tahun 2022 Ketidakpastian datang dari bank sentral AS yang mulai memperlambat kenaikan suku bunga acuan, tetapi di sisi lain China mulai melonggarkan kebijakan nol Covid-19. Dalam hal ini, perlambatan laju kenaikan suku bunga acuan AS memang sudah membuahkan hasil berupa penurunan permintaan, sehingga ini bisa menekan inflasi. Namun, dengan pelonggaran kebijakan nol Covid-19 di China, maka ini akan menaikkan permintaan dan berpotensi menyundut inflasi.
Sehingga tentu saja ini merupakan kebijakan dua negara adidaya yang tak selaras, sehingga bisa memengaruhi ketidakpastian global. David memperkirakan, nilai tukar rupiah pada awal tahun 2023 berada di kisaran Rp 15.000 hingga Rp 15.200 per dolar AS dan berpotensi melemah pada pertengahan tahun 2023. "Sehingga dengan demikian, harapannya LCT bisa mengurangi gejolak sehingga pelemahan rupiah nantinya bisa diredam," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi