JAKARTA. Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, diperlukan regulasi zonasi atau pembatasan area terkait dengan rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bakal membuka kepemilikan properti untuk pihak asing. "Perlu regulasi pembatasan berdasarkan zonasi untuk kota-kota besar atau tujuan wisata, semisal Jakarta dan Bali," kata Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin. Menurut dia, saat ini untuk menggairahkan properti asing perlu adanya penyelerasan dengan kebijakan fiskal dan regulasi agar hak pakai properti asing berjalan efektif di pasar.
Ia berpendapat bahwa harga properti di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan harga properti di kelas yang setara di luar negeri. "Patut jika harga properti bagi pembeli asing lebih mahal dari pembeli domestik. Kalau tiket memasuki warisan dunia situs Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja, atau Universal Studio di Singapura, tarif pelancong internasional lebih mahal dari pelancong domestik, mengapa tidak untuk harga properti dan tarif pajak properti yang dibeli orang asing penduduk Indonesia," tuturnya. Ali menyatakan bahwa sudah takdir Indonesia menjadi negara yang strategis dan terbuka jalur perdagangan dunia sehingga sejak dulu kala telah menjadi destinasi orang asing. Namun, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch juga mengemukakan bahwa selagi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berlaku, maka tidak usah dirisaukan perihal pemilikan properti asing. "UUPA berasaskan nasionalitas yang kental, namun membolehkan orang asing dan badan hukum asing pemegang hak tanah. Katup yang strategis bagi pemilikan properti oleh orang asing. Soalnya, bagaimana kualitas pemberian hak dan hubungan hukumnya dengan tanah," ucapnya. Mengacu Pasal 42 UUPA, Hak Pakai dapat diberikan kepada empat kelompok yakni warga negara Indonesia (WNI), orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sebagaimana diberitakan, kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bakal membuka kepemilikan properti di Tanah Air oleh warga negara asing dinilai tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan perolehan devisa. "Penerimaan devisa yang akan diterima dari kebijakan dibukanya kepemilikan property oleh asing tidak akan seheboh yang diperkirakan dan tidak akan signifikan," ujar Ali Tranghanda.
Ali membandingkannya dengan ketika pemerintah membuka arus investasi secara korporasi untuk dapat mengembangkan bisnis propertinya di Indonesia seperti yang saat ini dilakukan oleh Aeon, Tokyu Land, dan Keppelland. Menurut dia, langkah membuka arus investasi untuk mengembangkan properti tersebut dinilai lebih akan menggerakkan ratusan industri yang terkait langsung ataupun tidak langsung pada bisnis itu sehingga sektor riil akan bergerak. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa saat ini banyak properti yang telah berpindah kepemilikan melalui Penanaman Modal Asing (PMA). "Apakah ini tidak diatur dan malah makin membahayakan tatanan perumahan dan properti nasional," tegasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa