Perlu Tata Kelola Moderasi Konten yang Baik di Indonesia



KONTAN.CO.ID - Indonesia Services Dialogue (ISD) Council memandang perlunya memperhatikan pertumbuhan ekonomi digital serta kesesuaian dengan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam upaya moderasi konten. Hal ini patut menjadi pertimbangan dalam revisi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah bagi penyelenggaraan sistem elektronik.

“Pemerintah perlu memberikan ruang bagi semua pelaku di dalam ekosistem untuk mencapai  tata kelola yang efektif. Tanpa proses tersebut, moderasi konten yang berlebihan berisiko membatasi kreatifitas dan kebebasan berekspresi. Berpotensi pula menganggu hak publik atas informasi serta menghambat perkembangan ekonomi digital,” tutur Devi Ariyani, Direktur Eksekutif ISD Council dalam diskusi yang diadakan hari ini bersama para aktivis pemerhati dunia komunikasi digital.

Menurutnya, masyarakat pemerhati dan pelaku komunikasi digital perlu memastikan adanya mekanisme yang efektif dan tepat guna dalam memproses, menerima, dan/atau mempertanyakan permintaan penghapusan konten. Dengan demikian mekanisme banding atau laporan transparansi akan memberikan ruang bagi semua pelaku di dalam ekosistem untuk mencapai suatu tata kelola yang efektif.


ISD Council selaku lembaga independen memiliki perhatian pada penyelenggaraan sistem elektronik yang akan berpengaruh pada perkembangan sektor jasa dan masyarakat luas secara umum. Oleh karena itu, ujar Devi Ariyani, upaya moderasi konten perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi digital serta kesesuaian dengan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku.

Mengenai pengaturan konten moderasi yang ada saat ini, Wahyudi Jafar Direktur Eksekutif ELSAM menjelaskan, idealnya pengaturan konten dilandaskan pada konteks Hak Asasi Manusia (HAM), karena itu berkaitan dengan hak akan informasi dan kebebasan berekpsresi. “Dalam prakteknya dapat dilakukan secara koregulasi, bersama-sama oleh pemerintah dan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), dimana ada mekanisme banding yang berlaku,” ujarnya.

Sementara itu, Muhamad  Heychael, Direktur Program Remotivi yang juga dosen di Universitas Multimedia Nusantara berpendapat, dengan berbagai peraturan yang bergulir saat ini, tampak adanya upaya untuk mengontrol informasi di ranah digital melalui moderasi konten. Hal ini perlu diwaspadai karena tentu akan mengancam demokrasi dan kebebasan pers.

Pengaturan mengenai konten moderasi di Indonesia telah tertuang dalam berbagai kerangka aturan, diantaranya UU Penyiaran, UU Dewan Pers, UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta PP Jurnalisme Berkualitas. Moderasi konten di ranah online juga diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Secara lebih rinci aturan ini tertuang dalam Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik di Lingkungan Swasta yang mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (ESO) swasta untuk menghapus atau memblokir konten yang dianggap tidak sesuai, berbahaya atau meresahkan masyarakat.

Sebagai peraturan pelaksana, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat User Generated Content untuk Melakukan Pemutusan Akses (SK 172/2024).

Terkait moderasi konten, Devi Ariyani menyatakan “Kami mendukung upaya moderasi konten yang dimaksudkan untuk membatasi konten-konten yang berbahaya bagi masyarakat. Namun upaya tersebut sebaiknya disertai dengan kesadaran akan perlunya mekanisme yang adil, berimbang dan transparan. Serta perlunya penjelasan atau batasan lebih lanjut dari definisi ‘konten yang meresahkan’ sebagaimana dimaksud dalam peraturan agar tidak menjadi area abu-abu yang disalahgunakan.”

Menurutnya, tata kelola moderasi konten yang  berlebihan  juga berpotensi menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Bagi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, munculnya beban kepatuhan yang tinggi melingkupi proses, waktu, biaya, serta resiko hukum bilamana pemilik konten meminta pertanggungjawaban atas penghapusan konten tersebut.

Dari sisi pengguna konten, berpotensi terbatasnya hak atas informasi, sedangkan dari sisi penyedia konten berpotensi menghambat kreativitas dan kebebasan berekspresi serta adanya manfaat ekonomi yang dihasilkan.

Baca Juga: Mengeduk Setoran Pajak dari Youtuber dan Konten Kreator

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti