Perluas ekosistem, BCA Digital jalin kemitraan dengan Blibli



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank BCA Digital sebagai bank yang hadir tanpa cabang akan terus memperluas skala ekosistem digital di Indonesia. Hal itu dilakukan  dengan menggandeng partner non-perbankan yang memiliki visi yang sama dan yang sudah menjadi ahli di bidangnya.

Untuk bisa berkembang, salah satu syarat yang harus dipenuhi bank digital memang adalah memiliki jumlah nasabah yang banyak dan memiliki ekosistem digital yang luas. 

Direktur Utama BCA Digital, Lanny Budiati mengatakan, salah satu partner pertama perseroan adalah e-commerce Blibli. "Kemitraan ini merupakan strategi memperkuat komitmen keduanya untuk menghadirkan nilai tambah kepada pelanggan. Selain itu, juga upaya BCA Digital mempercepat transformasi ekonomi digital," jelasnya pada KONTAN, Kamis (2/9).


Kemitraan ini tentu menjadi salah satu senjata BCA Digital untuk bisa bersaing di tengah banyaknya mitra-mitra digital perseroan yang sudah punya bank sendiri. Lanny menambahkan, BCA Digital berkomitmen mengembangkan platform yang dapat memenuhi kebutuhan finansial dan non-finansial nasabah, lewat ekosistem digital yang saling terkoneksi.

Sementara sebelumnya Jahja Setiaatmadja President Direktur BCA menjelaskan, ada lima syarat minimum yang harus dipenuhi bank digital agar bisa bertahan da yang beroperasi sebagai bank digital.  Pertama, harus memiliki jumlah nasabah yang besar. 

Baca Juga: BCA Syariah bidik pertumbuhan aset hingga 10% sepanjang 2021

Kedua, harus menggandeng ekosistem yang ada dan mempunyai jaringan merchant yang besar. Jahja menambahkan, sinergi membentuk ekosistem yang luas sangat diperlukan. Bank digital tidak hanya sebatas menjaring pembukaan rekening saja tetapi rekening tersebut harus menghasilkan transaksi. "Jadi jangan bangga hanya dengan jumlah rekening saja," ujarnya dalam paparan virtual baru-baru ini.

Ketiga, memiliki produk yang user friendly.  Keempat, membutuhkan SDM programmer dan data analis yang handal.  Menurut Jahja, di persyaratan inilah mulai muncul rambu-rambu yang berat.  Programmer dan analis data yang hebat tidak hanya dibutuhkan oleh bank digital saja, tetapi juga oleh bank trandisional, fintech domestik maupun fintech asing. Menyediakan SDM yang mapan sehingga bisa menciptakan produk yang bagus menjadi tantangan berat. 

Kelima, diperlukan modal. Jahja bilang, di awal bisnis, bank digital tidak akan sanggup langsung menjalankan digital lending karena data belum terbentuk. Bank digital dalam menjalankan operasinya direncanakan mengandalkan artificial intelligence atau kecerdasan buatan sebagai mesin learning. Untuk melakukan ini diperlukan pengalaman dan tidak bisa serta merta masuk secara nekad. 

Sehingga untuk bisa untung di awal diperlukan modal yang besar untuk di tanam di SBN atau kredit korporasi. "Bank Digital ini harus nebeng sementara. Ini namanya transformasi.  Makanya jangan heran kalau nanti digital lending nasabahnya bukan semuanya mikro, akan ada  korporasi. Kalau tidak begitu tidak akan bisa hidup," jelas Jahja.

Jahja menambahkan, bank-bank digital yang dimiliki oleh bank trandisional memiliki keuntungan dibandingkan yang lain.  Pertama, mereka tidak perlu investasi call center sendiri.  Sementara investasi call center itu  membutuhkan biaya besar. Bank digital lain mungkin akan mengakalinya dengan menggunakan outsourcing per transaksi. Semakin banyak transaksi maka biayanya akan semakin mahal.

Kedua, diuntungkan dari jaringan ATM induknya. Menurut Jahja, transaksi tunai tidak akan bisa dihilangkan di Indonesia atau sepenuhnya cashless. Dengan jaringan ATM yang tersedia, nasabah bank digital milik bank konvensional itu tetap bisa bertransaksi tanpa biaya di ATM induknya. 

Selanjutnya: Mengintip prospek fundamental bank digital di Tanah Air

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .