Perlunya bukti ilmiah lokal untuk produk tembakau alternatif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Visiting Professor dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore Tikki Pangestu menyoroti wacana pelarangan rokok elektrik di Indonesia. Menurut dia, wacana tersebut akan berdampak buruk terhadap publik.

"Wacana tersebut akan berdampak buruk kepada perokok dewasa yang ingin beralih ke produk yang risikonya lebih rendah. Dan, juga mempunyai dampak besar kepada biaya pelayanan kesehatan karena perokok-perokok tersebut dapat menderita berbagai penyakit seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, dan diabetes,” kata Tikki dalam keterangannya, Minggu (15/12).

Perlu diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedang mendorong wacana larangan total bagi rokok elektrik, yang merupakan bagian dari produk tembakau alternatif.

Baca Juga: Kebijakan cukai produk tembakau alternatif diperlakukan tidak tepat

Rencana pelarangan tersebut dengan cara melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk menaikkan tarif Harga Jual Eceran (HJE) Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang akan mulai diberlakukan per Januari 2020 mendatang. Padahal, Kemenkeu sudah mengenakan tarif cukai tertinggi bagi Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL) yakni sebesar 57%.

Kemenkeu beralasan menaikkan tarif HJE untuk menekan konsumsi rokok elektrik yang sedang mendapatkan sorotan tajam.

Menurut Tikki, upaya yang dilakukan tersebut merupakan sebuah langkah mundur. Sebab, dalam konteks BPOM, rencana tersebut tidak berdasarkan kajian ilmiah.

Editor: Yudho Winarto