Jakarta. Bagi perusahaan, utang ibarat alat pendongkrak. Dengan utang, pertumbuhan perusahaan bisa lebih cepat ketimbang hanya mengandalkan modal sendiri. Tapi, utang yang kelewat besar bisa mengancam kesehatan perusahaan. Dalam skala nasional, utang luar negeri dari sektor korporasi juga bisa berdampak kepada ekonomi makro. Tren utang luar negeri swasta yang terus mendaki tentu bukan tanpa sebab. Juda Agung, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), bilang, kenaikan utang luar negeri dalam tiga tahun terakhir didorong faktor suplai dan faktor permintaan. Di sisi permintaan, ada kebutuhan pembiayaan investasi jangka panjang dalam jumlah yang cukup besar. Sepanjang tahun 2013, misalnya, kebutuhan investasi mencapai Rp 2.876 triliun. Sumber pembiayaan untuk menutup kebutuhan tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, pembiayaan berasal dari pemerintah sebesar Rp 292 triliun, kredit investasi Rp 392 triliun, dan pasar modal Rp 127 triliun. Sementara pembiayaan luar negeri bersumber dari penanaman modal asing sebanyak Rp 639 triliun. Sisanya dari utang luar negeri Rp 370 triliun. Alhasil, sebesar 13% pendanaan investasi tahun 2013 berasal dari utang luar negeri.
Saat kebutuhan investasi meningkat, sumber pembiayaan dari dalam negeri terbatas. Perbankan lebih banyak menyalurkan pinjaman jangka pendek atau jangka menengah. Sedangkan penyaluran kredit investasi tersendat. Pada saat yang sama, pasokan likuiditas di pasar global melimpah. Maklum, sejak akhir 2010, The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS), meluncurkan stimulus yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang mengakibatkan ekses likuiditas. Kebetulan, suku bunga pembiayaan luar negeri sedang rendah dan jauh lebih murah ketimbang bunga pembiayaan domestik. Walhasil, banyak perusahaan mencari sumber pembiayaan ke luar negeri. Apalagi, “Tahun 2011, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relatif stabil sehingga pengusaha makin berani berutang di luar negeri,” kata Kenaikan utang luar negeri swasta gara-gara bunga pinjaman valuta asing (valas) lebih murah, sejatinya, memang lumrah. Sah-sah saja perusahaan lebih memilih pinjaman dari luar negeri karena biaya dan beban yang lebih ringan. Namun, risiko makro ikut terdongkrak lantaran utang luar negeri makin membengkak. Menurut Juda, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) memang masih aman. Dibanding dengan negara-negara lain, rasio utang kita relatif masih rendah. Selain itu, berdasarkan komposisinya, sebagian besar utang luar negeri merupakan utang jangka panjang dalam bentuk loan agreement alias perjanjian pinjaman, sehingga relatif masih aman. Cuma, rasio pembayaran utang alias debt service ratio (DSR) yang meningkat tajam memang perlu dicermati. Apalagi, utang swasta meningkat justru di saat ekspor menurun karena permintaan dan harga komoditas melemah. Sehingga, “Kenaikan DSR cukup menakutkan,” kata Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri. Di sisi mikro, risiko nilai tukar dari kenaikan utang luar negeri juga patut diwaspadai. Lantaran utang dalam bentuk valas, biaya dan beban utang tergantung dari nilai tukar rupiah. Saat mata uang garuda melemah, otomatis beban utang dan bunga utang perusahaan pun ikut membengkak. Risiko nilai tukar Masalah makin parah saat perusahaan yang punya utang valas ternyata memiliki pendapatan dalam denominasi rupiah. Juda mengatakan, dari 20 perusahaan yang merupakan pengutang terbanyak, sebagian besar merupakan perusahaan yang berorientasi domestik. Hanya 21% yang kegiatan usahanya berorientasi ekspor. Risiko berikutnya di sisi mikro adalah rasio utang perusahaan alias over leverage bertambah. BI mencatat, rasio utang perusahaan yang melantai di bursa saham naik cukup signifikan tahun 2013 dibanding tahun sebelumnya. Ini tampak dari rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) yang naik hampir dua kali lipat. Juda mengungkapkan, banyak perusahaan terbuka yang rasio utang terhadap EBTIDA pada 2013 lalu sudah naik di atas 5 kali. Itu artinya, risiko utangnya makin tinggi. Dua risiko mikro ini patut diwaspadai. Sebab, menurut Juda, saat nilai tukar rupiah melemah dan suku bunga global naik, perusahaan akan tertekan sehingga terancam gagal bayar alias default. Memang, dalam kondisi normal, perusahaan bisa memperpanjang jatuh tempo utang dengan melakukan pembiayaan kembali atawa refinancing. Namun, David Sumual, ekonom Bank BCA, menyatakan, saat kondisi likuiditas global ketat seperti tahun 2008 lalu, para kreditur biasanya tidak mau memperpanjang utang jatuh tempo mereka. Nah, jika ada perusahaan gagal bayar, Juda menuturkan, ekonomi riil akan terpengaruh. Sebab, persepsi terhadap kesehatan ekonomi Indonesia bakal menurun. Tak cuma persepsi, tren utang luar negeri swasta yang terus meningkat juga bakal berisiko terhadap kondisi ekonomi makro. Destry menilai, lantaran banyak perusahaan yang punya utang luar negeri bukan berorientasi ekspor, pasokan valaspun tidak bertambah. Sementara, kebutuhan valas akan terus meningkat untuk membayar utang jatuh tempo. Akibatnya, ya, sudah bisa ditebak, saat permintaan valas meningkat jauh di atas pasokan yang ada, rupiah bakal tertekan. Untuk itu, Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, mengatakan, bank sentral mengimbau perusahaan yang berutang valas untuk melakukan hedging alias lindung nilai. Dengan skema lindung nilai, perusahaan bisa memperkecil risiko nilai tukar. Sayangnya, banyak perusahaan khususnya badan usaha milik negara (BUMN) masih belum memahami manfaat hedging. Menurut Juda, dari 100 perusahaan yang punya utang luar negeri cukup besar, sebanyak 82% di antaranya sudah melakukan hedging, baik di pasar keuangan maupun secara alamiah, karena merupakan perusahaan berorientasi ekspor maupun pinjaman dari perusahaan induk di luar negeri. Sementara sisanya yang 18% sama sekali belum melakukan hedging. Hanya, dari sisi jumlah utang, pinjaman luar negeri yang belum menggunakan skema hedging mencapai kisaran 50%. Aturan utang Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Asset Manajemen, mengatakan, BI sebaiknya mewajibkan perusahaan yang ingin berutang valas melakukan hedging. Sehingga, risiko nilai tukar mengecil ketika rupiah terdepresiasi. “Agar tidak membahayakan nilai tukar secara keseluruhan,” imbuhnya. Untuk mengurangi tekanan nilai tukar, perusahaan berpendapatan rupiah yang punya utang luar negeri ada baiknya diwajibkan memiliki rekening di bank sebesar tiga bulan cicilan dalam valas. Simpanan itu bisa menjadi semacam agunan sehingga perusahaan tidak perlu menarik valas dari pasar saat pembayaran jatuh tempo. Namun, BI tampaknya tak akan mewajibkan perusahaan melakukan hedging. Juda beralasan, implementasi kewajiban tersebut cukup sulit dilakukan. Bukan berarti BI akan tinggal diam. Desember 2013 lalu, misalnya, BI menerbitkan swap hedging untuk tiga tahun. Selama ini, swap hedging yang ada di pasar hanya untuk tiga bulan dan enam bulan. Memang, ketimbang kondisi 1998 silam, kondisi ekonomi saat ini jauh lebih baik. Selain itu, data utang luar negeri swasta juga terus terpantau. Tapi, Juda mengakui, BI terus mewaspadai kondisi utang luar negeri swasta yang makin besar. Sebab, kondisi saat ini merupakanbibit-bibit yang bisa mengganggu stabilitas dan kesehatan ekonomi. Untuk itu, BI sudah berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan langkah pencegahan risiko utang luar negeri swasta. Saat ini, BI tengah mempersiapkan langkah-langkah seandainya situasi semakin memburuk. Salah satunya, BI sedang mengkaji aturan khusus bagi perusahaan yang punya utang luar negeri. Selama ini, aturan seperti itu hanya berlaku bagi bank, yakni utang luar negeri maksimal 30% dari modal. BI juga melihat negara lain sebagai perbandingan. Negara maju, misalnya, tidak memiliki aturan tentang utang luar negeri swasta. Namun, negara berkembang seperti China, India, dan Filipina, membatasi utang luar negeri swasta secara ketat. Di India, contohnya, utang luar negeri swasta sektor manufaktur dan infrastruktur maksimal US$ 10 miliar dalam setahun. Adapun negara berkembang lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, lebih lunak. Aturan utang luar negeri swasta mereka lebih bersifat kehati-hatian. Sebut saja, perusahaan yang mau berutang harus memiliki rasio aset terhadap liabilitas dalam jumlah tertentu. Sayang, Juda enggan membocorkan rancangan aturan yang tengah digodok BI. Yang jelas, aturan tentang utang luar negeri swasta tersebut akan terbit tahun ini. “Intinya, BI akan mengatur utang swasta dari aspek kehati-hatian, bukan dalam bentuk kontrol,” katanya. Pemerintah juga akan mengupayakan langkah-langkah untuk mengurangi utang luar negeri swasta. Luky Alfi rman, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF), bilang, strategi pertama adalah meningkatkan simpanan masyarakat di perbankan. Maklum, kenaikan utang luar negeri dipicu keterbatasan pendanaan di dalam negeri. Saat ini, rasio simpanan di bank terhadap PDB sekitar 30%. Ini jauh lebih rendah ketimbang rasio simpanan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, yang sudah mencapai 80%. Strategi kedua, mendorong pemegang saham menambah modal ketimbang berutang. Caranya, dengan memperbaiki iklim investasi dan memberikan fasilitas perpajakan. “Kami ingin perusahaan menambah modal dibandingkan dengan berutang,,” kata Luky.
Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menambahkan, lembaganya akan berupaya memperdalam pasar keuangan, agar kapasitas daya serap pasar modal terhadap pendanaan semakin besar dan efisien. “Kami juga akan mendorong perusahaan melakukan manajemen risiko seperti melakukan hedging,” tambah Rahmat. Aturan yang lebih tegas mengenai utang luar negeri swasta sepertinya sudah mendesak. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 32 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander