JAKARTA. Dalam menjual hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) para pengembang merasa diberatkan oleh Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 21 tahun 2016 tentang Kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di dalam permen tersebut diatur tentang penjualan rusunami baru bisa dilakukan ketika fisik, sarana, dan prasarana sudah dalam kondisi siap huni. Artinya, jika sebelumnya hunian sudah bisa dijual jika sudah tahap topping off, kini hunian harus terdapat jaringan distribusi PDAM atau sumber air bersih, utilitas jaringan listrik yang berfungsi, dan saluran/drainase lingkungan yang telah berfungsi. Hal tersebut, menurut pengembang mempengaruhi cash flow perusahaan. "AJB dan akad KPA nya baru bisa setelah rusun siap huni, artinya semua utilitas harus sudah berfungsi. Hai ini sangat memberatkan cash flow pengembang," ujar Direktur Pemasaran PT Perumnas Muhammad Nawir kepada Kontan, Minggu (2/7). Hal senada juga disampaikan oleh Ki Syahgolang Permata, Corporate Secretary PT Adhi Karya. Menurutnya peraturan tersebut ke depannya akan mempengaruhi proses penjualan hingga akad KPA yang akan terlalu lama karena harus menunggu semua fasilitas sarana dan prasarana harus siap terlebih dahulu. "Akan memberatkan developer, initial outflow-nya menjadi besar karena tidak bisa mengandalkan dana pencairan KPA dari bank," katanya. Nawir menambahkan, dalam bisnis hunian MBR, pengembang tidak bisa mendapatkan margin keuntungan yang besar. Dalam setiap penjualan, margin yang didapatkan pengembang hanya sekitar 15%. "Sementara butuh modal kerja sampai dengan 75% dari harga jual," tambah Nawir. Selain itu, menurut Nawir, harga standar rusunami saat ini masih menggunakan harga tahun 2013 dan belum pernah ditinjau kembali hingga sekarang. Berbeda dengan standar harga rumah tapak yang setiap tahunnya disesuaikan dan dapat naik sebesar 5% setiap tahunnya. Nawir menambahkan, harga rusunami standar yang berlaku mulai dari Rp 7,4 juta hingga Rp 9,6 juta per meter persegi. Harga tersebut dinilai sudah ketinggalan jauh dengan harga yang dinilai wajar untuk saat ini yaitu sekitar Rp 12 juta per meter persegi. "Makanya kami mau pemerintah review kembali standar harga Rusunami yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga konstruksi saat ini," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Permen PUPR dinilai hambat penjualan rusunami MBR
JAKARTA. Dalam menjual hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) para pengembang merasa diberatkan oleh Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 21 tahun 2016 tentang Kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di dalam permen tersebut diatur tentang penjualan rusunami baru bisa dilakukan ketika fisik, sarana, dan prasarana sudah dalam kondisi siap huni. Artinya, jika sebelumnya hunian sudah bisa dijual jika sudah tahap topping off, kini hunian harus terdapat jaringan distribusi PDAM atau sumber air bersih, utilitas jaringan listrik yang berfungsi, dan saluran/drainase lingkungan yang telah berfungsi. Hal tersebut, menurut pengembang mempengaruhi cash flow perusahaan. "AJB dan akad KPA nya baru bisa setelah rusun siap huni, artinya semua utilitas harus sudah berfungsi. Hai ini sangat memberatkan cash flow pengembang," ujar Direktur Pemasaran PT Perumnas Muhammad Nawir kepada Kontan, Minggu (2/7). Hal senada juga disampaikan oleh Ki Syahgolang Permata, Corporate Secretary PT Adhi Karya. Menurutnya peraturan tersebut ke depannya akan mempengaruhi proses penjualan hingga akad KPA yang akan terlalu lama karena harus menunggu semua fasilitas sarana dan prasarana harus siap terlebih dahulu. "Akan memberatkan developer, initial outflow-nya menjadi besar karena tidak bisa mengandalkan dana pencairan KPA dari bank," katanya. Nawir menambahkan, dalam bisnis hunian MBR, pengembang tidak bisa mendapatkan margin keuntungan yang besar. Dalam setiap penjualan, margin yang didapatkan pengembang hanya sekitar 15%. "Sementara butuh modal kerja sampai dengan 75% dari harga jual," tambah Nawir. Selain itu, menurut Nawir, harga standar rusunami saat ini masih menggunakan harga tahun 2013 dan belum pernah ditinjau kembali hingga sekarang. Berbeda dengan standar harga rumah tapak yang setiap tahunnya disesuaikan dan dapat naik sebesar 5% setiap tahunnya. Nawir menambahkan, harga rusunami standar yang berlaku mulai dari Rp 7,4 juta hingga Rp 9,6 juta per meter persegi. Harga tersebut dinilai sudah ketinggalan jauh dengan harga yang dinilai wajar untuk saat ini yaitu sekitar Rp 12 juta per meter persegi. "Makanya kami mau pemerintah review kembali standar harga Rusunami yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan harga konstruksi saat ini," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News