Permendikbudristek PPKS dinilai bisa tindak predator seksual di perguruan tinggi



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sejumlah aktivis muslim menilai, keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) sangat tepat untuk diterapkan. Pasalnya, beleid tersebut berorientasi pada perlindungan masyarakat. 

Kalis Mardiasih, Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus Aktivis Kesetaraan Gender, berpendapat, semua warga negara yang normal, semestinya turut mendukung lahirnya Permendikbudristek PPKS.

Apalagi, cakupan Permendikbudristek PPKS sangat lengkap, karena memuat poin pencegahan, penanganan dan perlindungan kekerasan seksual yang berfokus pada keadilan untuk korban.


Menurut Kalis, Permendikbudristek PPKS lahir dari pengalaman korban kekerasan seksual di sejumlah lembaga pendidikan, terutama lingkungan pendidikan tinggi.

"Tentu saja, Permendikbudristek tetaplah dokumen. Dokumen dapat memiliki 'bunyi' jika diimplementasikan oleh leading sector yang berkomitmen," ujar dia kepada media, Kamis (5/11).

Baca Juga: Kekerasan Bisa Terjadi Kepada Siapa Saja

Terkait penolakan oleh segelintir pihak, menurut Kalis, hal itu sebagai bentuk ketidakpahaman bagaimana cara berpihak kepada korban kekerasan seksual.

Dia menjelaskan, kelompok penolak Permendikbudristek PPKS tidak sepakat dengan definisi kekerasan seksual sebagai tindakan pemaksaan di luar persetujuan seksual (sexual consent) seseorang. 

Padahal, masyarakat pada umumnya akan sepakat dengan definisi tersebut yang artinya setiap individu memiliki otoritas dalam menetapkan batas ruang aman bagi tubuhnya sendiri dan bisa melawan pihak-pihak yang melecehkan, mengancam dan menyerang keamanan diri sendiri.

Kalis menambahkan, bagi masyarakat beragama, seks yang dapat diterima adalah seks berbasis kesepakatan di dalam lembaga pernikahan. Hal ini juga untuk melindungi diri dari praktik pelecehan seksual di sekitarnya.

Tapi, kata dia, kelompok kecil yang tidak sepakat, justru membayangkan pemaknaan sexual consent akan membuat semua orang melakukan seks dengan suka sama suka. 

Efek jera predator

Dengan kata lain, menurut Kalis, mereka membayangkan semua orang tak punya pikiran mandiri dan tak punya martabat diri, sehingga semua orang akan menyepakati aktivitas seksual. "Sungguh sebuah imajinasi yang merendahkan manusia yang berakal dan bermoral," tegasnya.

Kalis menilai, hal yang paling membingungkan dari warga negara yang menolak Permendikbudristek PPKS ini adalah tuduhan bahwa Pemerintah telah melegalisasi zina.

Padahal, jika memahami substansi dokumen ini berisi penanganan kasus dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Tidak ada satu pun pembahasan soal zina. 

Pandangan yang sama juga disampaikan Savic Ali, Founder islami.co dan Director nu.or.id. Dia menegaskan, semestinya masyarakat semua harus sepakat jika pemerkosaan dan pemaksaaan harus dilarang. Jangan malah aturan seperti ini diprotes yang sebetulnya hal terkait konsensual yang harusnya diperdebatkan. 

Baca Juga: Hindari Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Dia justru mempertanyakan kenapa aturan anti kekerasan dan perkosaan mendapat pertentangan. "Aturan anti kekerasan dan perkosaan, kok, ditentang? Yang dilarang agama tidak selalu harus diillegalkan oleh negara," tulis Savic Ali dalam cuitannya di laman twiter @savicali.

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 atau Permen PPKS hadir sebagai langkah awal menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, rektor, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. 

Permen ini mengatur langkah yang harus diambil kampus untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Tujuaannya agar predator kekerasan seksesual dapat ditindak tegas untuk menimbulkan efek jera.

Selanjutnya: Kekerasan Berbasis Gender Online Alami Peningkatan, Cegah dengan Etika Digital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan