JAKARTA. Produksi kopi Tanah Air diprediksi terus menurun karena dampak El Nino. Penurunan ini diyakini akan memperlebar kebutuhan kopi yang kini makin meningkat. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) mencatat, produksi kopi 2016 sebesar 625.000 ton, turun dari produksi tahun 2015 yang sebesar 680.000 ton. Tahun 2017, AEKI memperkirakan, produknya turun 0,27% menjadi 637.539 ton.
"Harus diakui, penurunan produksi ini karena dampak El Nino. Jadi banyak petani yang gagal panen dan terlambat menanam, sehingga mereka terlambat panen juga," terang Sri Linda, Marketing Communication Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Jumat (3/2). Di sisi lain, Linda mengakui, permintaan pasar justru meningkat. Produsen kopi Tanah Air belum bisa memenuhi permintaan pasar, baik domestik maupun pasar ekspor. "Tiap tahun permintaan kopi pasti naik. Apalagi untuk pasar dalam negeri. Kalau saya amati, di Indonesia budaya minum kopi mulai ada pergeseran," ujarnya. (
Yuk, berkenalan juga dengan Kopi Garut. Simak videonya di sini) AEKI memperkirakan di tahun 2017 permintaan kopi dalam negeri maupun ekspor akan meningkat lebih dari 30%. "Permintaan pasti meningkat. Masalahnya pasokan kopi kita ini yang masih kurang," kata Linda. Akibat dampak El Nino, produksi kopi robusta di tahun 2015 - 2016 diperkirakan mengalami penurunan hampir 50%. "Padahal produksi kopi kita banyak yang robusta. Dan permintaan pasar domestik juga kuat di robusta," ungkapnya. Karena melihat pasar ekspor lebih menjanjikan, Linda mengatakan jika produsen kopi lebih banyak yang menjual kopi nusantara di pasar mancanegara. Da bilang, perbandingan penjualannya 70% untuk pasar ekspor dan 30% untuk memenuhi pasar domestik. "Kalau ekspor kita jual dalam bentuk
green bean. Sekarang ini kopi robusta
greenbean grade 4 harga ekspornya sekitar Rp 35.000 per kilogram. Kalau kopi arabica bisa dua kali lipatnya. Semakin tinggi gradenya, harganya makin mahal," ungkapnya.
(
Seberapa enaknya kopi asal Jawa Barat? simak testimoni dari pengamat kopi di sini) Menurunnya produksi kopi juga diakui oleh I Ketut Jati, Ketua Kelompok Petani Kopi Subak, Bali. Menurut Jati, tahun lalu jumlah produksi kopinya sekitar 7-8 ton gelondong merah jika dihitung per hektare (ha). Ia mengatakan jika tahun 2017 iklim membaik, maka produksi kopi bisa kembali normal, menjadi sekitar 10 -12 ton per ha. Jati membenarkan bahwa secara umum petani kopi di Kintamani mengalami penurunan produksi. "Secara umum, beratnya berjuang karena curah hujan. Buahnya jadi jelek, hitam dan tanpa isi. Banyak buah kopi yang sudah tua cepat jatuh dan tidak bisa dipanen," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia