Permodalan Fintech Bakal Lebih Tinggi, Pelaku Bisnis Siapkan Strategi Gaet Investor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta kepada platform fintech P2P lending yang ekuitasnya negatif untuk segera menambah modal.

Sebagai gambaran, OJK akan merilis peraturan baru yang mulai berlaku di tahun ini mengenai ketentuan ekuitas minimum. Setelah POJK baru berlaku, semua platform P2P lending wajib memiliki ekuitas minimum yang diterapkan bertahap sampai nanti harus naik hingga minimum Rp 15 miliar.

Nilai ini berlipat-lipat signifikan dari ketentuan sebelumnya yang sebesar Rp 2,5 miliar. Sebelumnya, OJK memang pernah menyebutkan bahwa persyaratan modal disetor minimum Rp 2,5 miliar dalam Peraturan OJK No. 77/2016 itu terlalu kecil. 


OJK melihat banyak penyelenggara bermodal kecil tak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal.

Menanggapi hal tersebut, salah satu pemain fintech P2P lending, PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia mengaku saat ini total permodalan sudah melebihi Rp 15 miliar yang merupakan besaran minimum yang ditetapkan OJK.

Baca Juga: Sepanjang 2021, Fintech GandengTangan Salurkan Pinjaman Hingga Rp 40,5 Miliar

"Kami melihat penguatan ekuitas ini baik, agar platform P2P di Indonesia juga punya financial yang tangguh. Namun demikian mengenai jumlahnya apakah Rp 10 miliar atau Rp 15 miliar itu perlu dilihat dari pemain existing atau pemain baru apakah mampu kalau Rp 15 miliar, dan mungkin ini perlu diimplementasikan secara bertahap. Akseleran sendiri modal disetornya sudah jauh lebih dari Rp 15 miliar," jelas Ivan Tambunan, CEO & Co-Founder Akseleran kepada kontan.co.id, Selasa (25/1).

Ivan mengatakan bahwa, perusahaan akan berencana meneruskan penambahan modal di tahun ini, dengan mencari permodalan kembali dari Venture Capital.

Asal tahu saja, Akseleran memang sudah mendapatkan pendanaan dari beberapa Venture Capital dari dalam dan luar negeri seperti Beenext (Jepang), Digital Garage (Jepang), Access Ventures (Hong Kong), Central Capital Ventura (Indonesia, afiliasi Bank BCA), dan Agaeti Venture (Indonesia, Pandu Sjahrir sebagai managing partnernya).

"Dalam menjaga permodalan, Akseleran terus sustainable dengan cash flow positive, disamping melakukan penambahan modal dengan attract venture capital," ujar Ivan.

Setali tiga uang, fintech P2P lending Amartha juga mengaku pada dasarnya sudah melebihi ambang batas minimum tersebut.

"Permodalan kami telah melebihi standar yang ditetapkan oleh OJK. Untuk pendanaan, secara umum Amartha telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp 5 triliun," kata CEO dan Founder PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) Andi Taufan Garuda Putra.

Andi menyampaikan, dalam meningkatkan permodalaan, perusahaan terus melakukan peningkatan penyaluran pendanaan, serta menjalin kolaborasi strategis dengan mitra institusi perbankan untuk mengakselerasi permodalan bagi UMKM.

"Amartha memiliki beberapa kanal dalam memenuhi permodalan, mulai dari kanal ritel individu, hingga kanal institusi seperti kolaborasi dengan perbankan. Amartha akan mengoptimalkan seluruh kanal untuk memperkuat permodalan," tambah Andi.

Baca Juga: Aturan Permodalan Fintech Bakal Lebih Tinggi. Jadi Berapa?

Selain itu, dalam menjaga permodalan, perusahaan terus mengoptimalkan kerja sama strategis dengan mitra institusi/perbankan.

Fintech P2P Modal Rakyat juga menyatakan, saat ini perusahaan sudah memenuhi syarat minimum permodalaan yang ditetapkan oleh OJK. Sehingga, kedepannya Modal Rakyat akan berusaha untuk tetap mempertahankan jumlah ekuitas di angka yang sama dengan posisi di tahun 2021.

"Untuk permodalan, kami masih terbuka untuk investor baik dari dalam ataupun luar negeri yang memiliki ketertarikan pada sektor P2P Lending," kata CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik.

Untuk proyeksi permodalan di tahun 2022 Hendoko mengaku, masih hanya mempertahankan permodalan per 2021. "Untuk menjaga permodalan ini kami akan memastikan bahwa operasional kami berjalan dengan efektif dan efisien, sehingga kami dapat menjaga kestabilan ekuitas kami," tutur Hendoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi