Pernah coba kopi cita rasa detergen?



SIMALUNGUN. Puluhan tahun bergelut dengan kebun kopi, belum tentu pakar dalam penanamannya. Mulai dari pemilihan bibit, penangkaran tanaman pelindung, pemberian pupuk, perawatan, hingga pencucian biji kopi membutuhkan teknik. Tak cukup sekadar pengalaman. Nan jauh dari Medan, terdapat ribuan petani kopi yang sudah puluhan tahun mengandalkan kebun kopi sebagai mata pencaharian. Sayangnya, tak semua petani itu fasih dalam mengelola kebunnya. Banyak di antaranya yang malah mencuci biji kopi merah dengan detergen. Alasannya polos. "Supaya kelihatan cemerlang," ujar salah satu petani Simalungun Sumatera Utara, Lukianto, Rabu (7/12). Tentu saja pencucian biji kopi yang bertujuan untuk melepas kulit merah dari bijinya itu malah merusak cita rasa kopi. Padahal, hampir 60% dari 60.000 ton ekspor biji kopi dari Sumatera Utara itu langsung diserap pemilik gerai kopi ternama Starbucks. Menurut Konsultan Agribisnis International Finance Corporation (IFC) Zaenudin Toyib, tak semua biji kopi asal Simalungun lolos kualitas ekspor. Sebab, biji kopi itu tak memenuhi kualitas grade 1 saat proses sortir dan kontrol kualitas. Kualitas grade 1 merupakan syarat sebuah biji kopi layak dipasarkan di luar negeri. Dalam setiap sampling 300 gram, poin cacat (defect) tidak boleh melebihi 11 dan berkadar air 12%. Artinya, biji asalan (sudah terlepas dari kulit ari dan tanduk) harus mulus, berwarna hijau telur asin nan seragam, tidak pecah, dan tidak berbiji hitam. Kebanyakan, kata Zainudin, biji kopi para petani Simalungun itu tak lolos sortir ekspor karena memiliki cacat permanen. Setelah masa panen, biji kopi tidak langsung digiling sehingga terjadi penurunan kualitas rasa karena terlalu lama ditimbun. Bahkan, biji asalan yang seharusnya direndam semalam pun malah dibiarkan berhari-hari. Itu pun direndam dengan detergen. "Makanya banyak yang terpaksa ditolak karena buyer pun menolaknya," katanya. Petani lainnya, Ngatio, pun mengakui telah menerapkan cocok tanam kopi yang cenderung asal-asalan. Bibit kopi pun diambil sekenanya dari pohon kopi lainnya. Hal itu berefek pada hasil panen yang sembarangan. Zainudin mengibaratkan, penanaman biji kopi bukan dari bibit unggul layaknya membeli barang dari pinggir jalan. Kalau beruntung mungkin dapat bagus, sisanya lebih banyak rugi karena kualitas yang jelek. Seharusnya, para petani menggunakan bibit varietas Sigararutang yang cepat tumbuh, berbuah banyak, tidak rentan penyakit, dan berpohon pendek. Varietas itu merupakan primadona Sumatera Utara.

Di wilayah lain, Aceh misalnya, lebih memilih varietas Arabusta Timtim yang berumur lebih panjang, tidak rakus pupuk, tapi berbuah tak sebanyak varietas Sigararutang. "Selama ini mereka lebih sering mencabut biji kopi dari pohon lain dan ditanam sebagai bibit. Hasilnya sudah pasti tidak memuaskan," tuturnya. Hal tersebut dibenarkan Quality Control Officer PT Indo Cafco Anna Flora Silalahi. Proses penanaman dan pencucian yang sembarangan akan menghasilkan kualitas abal-abal. Saat dirasakan, kualitas premium akan memiliki rasa asam yang kuat, terkadang manis pun terasa. Seduhan kopi pun memiliki tingkat kekentalan bodi (serbuk kopi) yang bersih karena tidak bercampur kulit tanduk dan ari. "Saat dihirup pun aromanya lebih tajam. Itu kualitas premium," katanya. Beda halnya dengan kualitas abal-abal. Saat diseduh malah terasa kayu, tak jarang rasa obat-obatan yang pekat. Saat dalam mulut, kekentalan bodi tidak terasa karena terlalu banyak ampas kulit dan nyaris tidak terasa asamnya karena tercampur kulit saat digiling.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.