KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden dan menteri boleh berpihak di dalam pemilihan presiden sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara adalah pernyataan yang merusak prinsip-prinsip demokrasi elektoral secara mendasar. Sikap presiden itu berpotensi melanggar pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia langsung dari pucuk pimpinan negara. “Ini merusak demokrasi. Apakah ini berarti berbagai pelanggaran yang telah marak terjadi di masyarakat bisa dianggap sebagai hal yang wajar, sesuatu yang dapat dimaklumi?” kata Natalia Soebagjo, Ketua Perkumpulan Jaga Pemilu, dalam rilis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (25/1). Pernyataan tersebut mengisyaratkan agar masyarakat maklum dengan keberpihakan Jokowi terhadap pemenangan Pemilu 2024 karena putera sulungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden No.2, mendampingi Prabowo Subianto.
Natalia menambahkan, pernyataan presiden lebih mencengangkan lagi karena dengan latar belakang pesawat udara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Capres No.2, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak di bandar udara Halim Perdanakusuma. “Semua dalam latar itu, dibayar oleh pajak rakyat. Pesawat udara, bordir bintang lima di topi, seragam jaket mereka, bahkan gaji yang mereka terima dalam posisinya sebagai pejabat sampai ke pengoperasian bandara Halim dibayar pajak rakyat. Tidak sepantasnya pernyataan itu diucapkan, apalagi diucapkan di fasilitas negara seperti itu,” tegas Natalia.
Baca Juga: Jokowi Dilaporkan ke Bawaslu, Buntut Salam 2 Jari dari Jendela Mobil Kepresidenan Erry Riyana Hardjapamekas selaku Ketua Badan Pengawas Perkumpulan Jaga Pemilu menambahkan, presiden sebagai Kepala Negara harus berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Jokowi tidak seharusnya melanggar undang-undang yang telah melarang pejabat negara yang memiliki akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk menggunakan akses tersebut demi memenangkan peserta pemilu tertentu ““Presiden sebagai penanggung jawab keuangan dan sumber daya nasional harus menggunakan kekuasaannya untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa. Lebih spesifik lagi, pada saat pemilihan umum, ia harus berada di atas semua golongan dan memberi contoh bagi aparatur sipil negara dan aparatur negara bersenjata agar selalu netral karena mereka harus melayani semua warga tanpa diskriminasi dan tidak pilih bulu,” katanya. Menurut Titi Anggraini, salah satu inisiator Perkumpulan Jaga Pemilu yang juga pendiri Perludem, pernyataan Jokowi hanya merujuk pada ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan: (a) Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan; dan (b) Menjalani cuti di luar tanggungan negara. Padahal, di dalam UU No. 7 Tahun 2017, khususnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. “Presiden Jokowi dan seluruh menterinya adalah pejabat negara yang memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam pemilu. Mereka dilarang melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, termasuk di masa kampanye. Jika mereka melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu,” kata Titi. “Termasuk juga tindakan Menteri, yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu. Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam masa cuti di luar tanggungan negara,” tambahnya.
Selain itu, di pasal lain, yakni pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 juga terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah pejabat negara, terutama presiden dan menteri, dari melakukan tindakan yang dapat menguntungkan peserta pemilu tertentu. Larangan ini berlaku untuk seluruh tahapan pemilu, mulai dari sebelum kampanye, selama kampanye, hingga setelah kampanye. “Jika pernyataan Presiden tersebut dialamatkan sebagai pemakluman terhadap pasal-pasal ini, bagaimana implementasinya di tingkat semua bawahan Presiden, mulai dari Gubernur sampai Lurah? Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi elektoral yang ada di UU No. 7 Tahun 2017 itu akan membuat demokrasi Indonesia mundur jauh ke belakang,” tegasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ahmad Febrian