Perpanjangan kontrak Freeport Indonesia dipertanyakan, ini jawaban Kementerian ESDM



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna membahas hasil divestasi mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Selasa (15/1). Dalam rapat ini, Komisi VII DPR RI mempertanyakan alasan pemerintah menyelesaikan divestasi pada akhir tahun lalu, tidak menunggu sampai Kontrak Karya (KK) PTFI berakhir pada tahun 2021.

Pertanyaan itu disampaikan oleh Anggota Komisi VII Fraksi Gerindra Ramson Siagian dan Wakil Ketua Komisi VII Muhammad Nasir yang kala itu memimpin rapat. "Ini memang menjadi pertanyaan publik. Bisa menjelaskan kenapa dipaksanakn tidak menunggu izin 2021?" tanya Ramson.

Sedangkan Nasir menilai, proses akuisisi, perpanjangan kontrak dan perubahan status PTFI menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebelum masa KK berakhir terkesan telah menabrak banyak aturan. "Kenapa tidak tunggu sampai 2021? saya melihat karena kepentingan itu jadi dipaksakan, banyak tabrak aturan," kata Nasir.


Menjawab pertanyaan itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono berdalih, apa yang telah dijalankan pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat. Bambang memaparkan, pihaknya merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba, serta Kontrak Karya PTFI pada tahun 1991.

Bambang bilang, dalam Pasal 169 UU Minerba, KK yang telah ada sebelum berlakuknya UU ini, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak. Namun, pada Pasal 31 KK Tahun 1991, disebutkan bahwa persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun dan perusahaan (PTFI) akan diberikan hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun dengan syarat disetujui pemerintah.

Pasal dalam KK itu menyebutkan, pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar. "Jadi sesuai KK dan UU Minerba, KK PTFI tidak otomatis berakhir di tahun 2011," ujar Bambang.

Lebih lanjut, ia memaparkan berdasar Pasal 112 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014, KK yang belum memperoleh perpanjangan dapat diperpanjang menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali menegnai penerimaan negara yang lebih menguntungkan. Lalu, pada Pasal 72 ayat (1) PP Nomor 1 tahun 2017, permohonan perpanjangan IUPK dapat diajukan lima tahun sebelum berakhirnya IUPK.

Pemaparan Bambang itu belum memuaskan M. Nasir, yang kembali mempertanyakan, mengapa pemerintah memilih untuk menerbitkan IUPK pada 21 Desember 2018 lalu. "Pemerintah juga bisa menolak, mengapa tidak menolak?" tanya Nasir.

Bambang menjawab, pemerintah mempertimbangkan pasal 31 dalam KK, sehingga tidak terjadi perselisihan yang bisa dibawa ke tingakt arbitrase. Sebab, pemerintah tidak dapat menahan atau menolak apabila pemegang KK telah memenuhi persyaratan dan berkinerja baik.

"Itu bisa dispute, dibawa ke arbitrase," katanya.

Jika sampai dibawa ke arbitrase, lanjut Bambang, itu akan merugikan baik secara teknis operasional maupun sosial ekonomi. Ia menjelaskan, apabila dibawa ke arbitrase, maka operasional PTFI harus berhenti, dan itu akan berpotensi mendatangkan kerugian, mulai dari kerusakan terowongan dan infrastruktur, hingga potensial kehilangan 30% cadangan Grasberg Block Caving akibat longsoran dan pengotoran dari tambang terbuka, dimana rembesan air tanah dan lumpur yang ada diperkirakan 6 juta meter kubik dengan tekanan 800 psi.

"Secara teknis tambang itu tidak bisa berhenti. Kalau sekali berhenti, recovery-nya lebih mahal lagi," terang Bambang.

Sayang, RDP tersebut ditutup tanpa adanya kesimpulan yang jelas, karena Komisi VII memutuskan untuk mengakhiri forum tersebut. Diagendakan, pembahasan ini akan diteruskan pada pekan depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi