KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu membuahkan polemik. Ada apresiasi terhadap kehadiran regulasi ini, tetapi masih ada beberapa pasal yang mengganjal bagi beberapa kalangan, termasuk pengusaha. Adi Mahfudz Wuhadji, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) mengatakan, ada beberapa penguatan dalam perppu tersebut yang mendapat perhatian. Pertama, terkait kepastian hukum. "Dengan kehadiran Perppu Cipta Kerja berikut turunannya, tentu kami berharap memperoleh kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan yang berpihak secara menyeluruh, khususnya terhadap keberlangsungan dunia usaha dan pekerja," kata Adi, Kamis (5/1).
Kedua, mengenai perlindungan tenaga kerja untuk menjamin hak-hak pekerja, dan sejauh mana negara mampu memfasilitasi penyerapan tenaga kerja untuk mengatasi pengangguran. Lalu ketiga, terkait kesejahteraan pekerja atau buruh, terpenuhinya pemenuhan kebutuhan pekerja sesuai dengan produktivitas. Ini termasuk perlindungan pekerja 117 juta lebih pekerja UMKM. Keempat, mendukung investasi. "Harapannya adalah, bisnis jadi semakin bergairah terhadap ekosistem investasi dan program strategis nasional dalam jangka panjang," kata Adi.
Pasal polemik
Adi mengakui, beberapa pasal dalam perppu masih menjadi polemik dan krusial. Beberapa di antaranya perlu mendapat perhatian dan butuh disikapi bersama segera. Beberapa poin ini antara lain, pasal 64 tentang alih daya atau
outsourcing. Dia menjelaskan, pekerja
outsourcing bukanlah buruh upah murah, melainkan pekerja dengan kompetensi atau
skill yang sesuai dengan kebutuhan industri. Karena itu, kiranya ruang lingkup untuk pekerja ini tidak dibatasi, melainkan diperketat pengawasannya. "Sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan industri, alih daya memegang peranan dalam memenuhi kebutuhan adanya keterampilan kerja dan penyediaan sumber daya manusia yang memungkinkan bagi industri untuk berfokus melaksanakan strateginya," kata Adi. Apalagi, perusahaan penanaman modal asing (PMA) juga terbiasa dengan skema alih daya karena menawarkan fleksibilitas bisnis sebagai bagian dari ekosistem dunia usaha yang sehat. "Karena itu, sesuai amanat pasal 64 perppu ini, semestinya yang dilakukan adalah perluasan mekanisme alih daya di dunia usaha Tanah Air, dengan fokus pembatasannya pada praktik yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” kata Adi. Dalam catatan Kadin, pekerja alih daya merupakan bagian dari penyokong industri lainnya. Alih daya memiliki potensi sumbangsih besar terhadap produktivitas dan peningkatan daya saing industri Tanah Air. Pada tahun 2015, potensi pasar bisnis alih daya yaitu mencapai Rp 39,5 triliun, atau dengan pertumbuhan 130,32% dibanding 2014 yang sebesar Rp 17,15 triliun. Dalam tataran global, Filipina diperkirakan mempekerjakan 1,3 juta tambahan pekerja melalui skema alih daya dengan
revenue US$ 55 miliar. Sementara industri
outsourcing di India mempekerjakan hampir 3,5 juta orang. "Kami berharap, ke depannya, industri alih daya di Indonesia bisa menjadi kontributor positif bagi perekonomian Indonesia, terlebih dengan adanya bonus demografi dan Generasi Emas 2045," kata Adi.
Pasal Upah Minimum
Pasal lainnya yang menjadi ganjalan bagi Kadin yaitu mengenai Pasal 88F tentang Upah Minimum, di mana dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Menurut Adi, perlu penegasan lagi mengenai keadaan yang dimaksud pemerintah, termasuk hal khusus atau hal yang dikecualikan. Selama ini, yang dimaksud dengan hal keadaan tertentu biasanya terjadi dalam situasi darurat kebencanaan, yang memang sangat terkait dengan situasi kondisi perekonomian, baik terpengaruh situasi ekonomi global maupun nasional. Pemerintah sebelumnya mengatakan, mengenai formula penghitungan upah minimum, termasuk indeks, akan diatur juga dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam perumusan PP tersebut, Adi berharap, ruang dialog dan komunikasi dalam peraturan pelaksana dapat disesuaikan lebih jelas. Kadin juga meminta Dewan Pengupahan yang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat dan daerah, diajak turut serta dalam lingkup tripartit, sebagaimana disebut dalam pasal 98 perppu. "Dalam penyusunan PP sebagai amanat dari perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja ini, kami berharap adanya keterlibatan tripartit untuk duduk bersama berdiskusi mengenai pembentukan regulasi turunan yang mengakomodir dan melindungi hak-hak pengusaha dan pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Adi. Dengan begitu, regulasi ini membantu mempertahankan daya saing dan kontribusi positif perusahaan terhadap perekonomian nasional.
Tujuan Perppu Ciptaker
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, penerbitan Perppu no 2/2022 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik. “Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga, seperti dikutip dari Sekeretariat Kabinet, Jumat (30/12).
Selain itu pemerintah juga dihadapkan dengan konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, ancaman krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim. Penerbitan perppu ini juga disebut sebagai jawaban untuk
omnibus law Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat. Karena itu, Perppu ini dinilai penting karena dapat memberikan pastian hukum termasuk bagi pelaku usaha, sehingga dapat menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia