JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dalam draf yang diterima KONTAN, Selasa (16/5), aturan tersebut diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017. Dengan demikian, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan. Lembaga tersebut, wajib memberikan laporan yang berisi informasi keuangan dalam bentuk elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan non-elektronik. Adapun pada saat Perppu ini mulai berlaku, beberapa pasal dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu ini. Pertama, Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kedua, Pasal 40 dan Pasal 41 UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Ketiga, Pasal 47 UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal. Keempat, Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 UU No. 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Kelima, Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Nantinya, dalam hal diperlukan petunjuk teknis mengenai akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu ini, Menteri Keuangan dapat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa Ditjen Pajak belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut soal Perppu ini maupun apakah nantinya Ditjen Pajak akan mengeluarkan aturan lanjutan. “Tunggu Ibu Menkeu dulu yang akan sampaikan ke masyarakat,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (16/5). Peneliti pajak DDTC Bawono Kristiaji menilai, idealnya, pembukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan diberikan dalam rangka dua hal. Pertama, sebagai landasan hukum yang dapat menjamin keterlibatan Indonesia dalam hal perjanjian internasional khususnya pertukaran informasi secara otomatis. Kedua, sebagai upaya penggalian potensi pajak. Menurut dia, keduanya sama-sama penting dan relevan. Dalam hal pertukaran informasi, Indonesia perlu memiliki primary law yang membuka ruang akses informasi keuangan secara berkala. Jika tidak, ada risiko Indonesia dicap sebagai negara yang gagal dalam memenuhi komitmennya dan akhirnya justru membuat Indonesia tidak secara optimal berpartisipasi dalam kerjasama pertukaran informasi. “Padahal, Pemerintah Indonesia membutuhkan informasi keuangan dari negara lain untuk mencegah praktik tidak dilaporkannya harta/penghasilan subjek pajak dalam negeri (SPDN) yang disembunyikan di luar yurisdiksi,” jelasnya. Ia menjelaskan, dalam hal ini penggalian potensi pajak juga menjadi hal yang sangat urgen. Hal ini mengingat besarnya shadow economy Indonesia serta rendahnya basis pajak. “Masih banyak informasi dari lembaga keuangan dalam negeri atas potensi pajak SPDN. Hal ini dikonfirmasi oleh data tax amnesty yang memperlihatkan tingginya angka deklarasi dalam negeri yang mencapai Rp 3.700 triliun,” kata dia. Bawono mengatakan, kedua tujuan tersebut secara umum tercantum dalam Perppu tersebut. “Sayangnya, perihal tujuan penggalian potensi pajak tidak tercantum secara eksplisit,” ucapnya.
Perppu soal Pajak bisa akses data bank diterbitkan
JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dalam draf yang diterima KONTAN, Selasa (16/5), aturan tersebut diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017. Dengan demikian, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan. Lembaga tersebut, wajib memberikan laporan yang berisi informasi keuangan dalam bentuk elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan non-elektronik. Adapun pada saat Perppu ini mulai berlaku, beberapa pasal dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu ini. Pertama, Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kedua, Pasal 40 dan Pasal 41 UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Ketiga, Pasal 47 UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal. Keempat, Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 UU No. 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Kelima, Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Nantinya, dalam hal diperlukan petunjuk teknis mengenai akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu ini, Menteri Keuangan dapat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa Ditjen Pajak belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut soal Perppu ini maupun apakah nantinya Ditjen Pajak akan mengeluarkan aturan lanjutan. “Tunggu Ibu Menkeu dulu yang akan sampaikan ke masyarakat,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (16/5). Peneliti pajak DDTC Bawono Kristiaji menilai, idealnya, pembukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan diberikan dalam rangka dua hal. Pertama, sebagai landasan hukum yang dapat menjamin keterlibatan Indonesia dalam hal perjanjian internasional khususnya pertukaran informasi secara otomatis. Kedua, sebagai upaya penggalian potensi pajak. Menurut dia, keduanya sama-sama penting dan relevan. Dalam hal pertukaran informasi, Indonesia perlu memiliki primary law yang membuka ruang akses informasi keuangan secara berkala. Jika tidak, ada risiko Indonesia dicap sebagai negara yang gagal dalam memenuhi komitmennya dan akhirnya justru membuat Indonesia tidak secara optimal berpartisipasi dalam kerjasama pertukaran informasi. “Padahal, Pemerintah Indonesia membutuhkan informasi keuangan dari negara lain untuk mencegah praktik tidak dilaporkannya harta/penghasilan subjek pajak dalam negeri (SPDN) yang disembunyikan di luar yurisdiksi,” jelasnya. Ia menjelaskan, dalam hal ini penggalian potensi pajak juga menjadi hal yang sangat urgen. Hal ini mengingat besarnya shadow economy Indonesia serta rendahnya basis pajak. “Masih banyak informasi dari lembaga keuangan dalam negeri atas potensi pajak SPDN. Hal ini dikonfirmasi oleh data tax amnesty yang memperlihatkan tingginya angka deklarasi dalam negeri yang mencapai Rp 3.700 triliun,” kata dia. Bawono mengatakan, kedua tujuan tersebut secara umum tercantum dalam Perppu tersebut. “Sayangnya, perihal tujuan penggalian potensi pajak tidak tercantum secara eksplisit,” ucapnya.