Perpres PLTSa bakal direvisi, begini potensi pellet RDF yang jadi alternatif



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan berpotensi direvisi.

Sebagai alternatif, pengembangan pengolahan sampah menjadi pellet Refuse Derived Fuel (RDF) untuk kemudian dicampurkan dengan batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) besar kemungkinan bakal didorong.

Menanggapi rencana ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, metode RDF bisa mengurangi persoalan pengolahan sampah yang selama ini terjadi.


Fabby menjelaskan, proyek PLTSa yang diatur dalam Perpres 35 tahun 2018 dengan total kapasitas listrik 234 MW hanya mengolah sampah sekitar 5,8 juta ton per tahun. Jumlah ini dinilai masih minim pasalnya hanya sekitar 9% dari total produksi sampah yang mencapai 64 juta ton per tahun.

Baca Juga: 15 Pembangkit Listrik Sampah Masuk RUPTL, Ini Dia Pemain Pembangkit Sampah

"Menurut saya ini positif untuk pengolahan sampah kota dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan solusi Waste to Energy yang investasinya sangat mahal," jelas Fabby kepada Kontan.co.id, Minggu (27/6).

Fabby mengungkapkan kebutuhan investasi untuk pengolahan sampah menjadi RDF sekitar US$ 6,7 juta hingga US$ 7 juta untuk pengolahan sampah sebanyak 100 ton per hari.

Salah satu yang telah berjalan yakni di Cilacap dengan biaya sekitar Rp 70 miliar - Rp 80 miliar untuk pengolahan 200 ton sampah per hari. Sementara itu, kebutuhan investasi yang lebih besar dibutuhkan untuk proyek PLTSa. Sebagai contoh, PLTSa Benowo di Surabaya membutuhkan investasi mencapai US$ 54,2 juta.

Dengan skema RDF, maka dinilai pengolahan sampah pada kota-kota kecil bisa dilakukan dan efektif. Kendati demikian, Fabby memastikan pengolahan RDF pada kota-kota yang ada pun harus dipastikan serapannya baik untuk pembangkit listrik maupun pabrik semen.

Baca Juga: PLN siap pasok listrik untuk sektor bisnis dan tambang di Kalimantan

Apalagi, dengan pengembangan RDF maka PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga dinilai tidak akan terbebani pasalnya tidak ada listrik yang dibeli. Sementara, untuk proyek PLTSa, merujuk beleid yang ada maka harga beli listrik yang harus ditanggung PLN mencapai US$ 13,35 sen per kWh.

Dengan kemungkinan dibukanya opsi pengolahan sampah bagi pemerintah daerah maka dinilai bisa berjalan dengan baik terlebih sudah ada beberapa pilot project yang dilakukan seperti pada PLTU milik PLN di NTB dan NTT. "Ada beberapa pemda juga yang tertarik mengembangkan RDF sebagai solusi sampah," pungkas Fabby.

Selanjutnya: PLN siap pasok listrik untuk sektor bisnis dan tambang di Kalimantan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli