Perpres ratifikasi tembakau terbit akhir tahun



JAKARTA. Pemerintah sudah mencapai kata sepakat untuk meratifikasi Framework Convention Tobacco Control (FCTC) guna meminimalisir dampak produk tembakau kepada masyarakat. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono mengatakan ratifikasi ini nantinya akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden yang diperkirakan terbit pada penghujung tahun ini. "Kalau melihat substansi ratifikasinya, maka ini tidak perlu dalam bentuk Undang-Undang (UU), melainkan cukup dengan Perpres saja," ujar Agung kepada KONTAN, akhir pekan lalu. Menurut Agung FCTC yang akan diratifikasi ini hanya pedoman umumnya saja, sementara pedoman teknisnya nanti akan diatur lagi dengan Peraturan ditingkat Kementerian masing-masing. Alasan lain kenapa FCTC tidak diratifikasi dalam bentuk UU adalah karena substansinya tidak menyangkut urusan politik, hukum, keuangan, ataupun soal norma agama yang perlu dalam bentuk UU di DPR. Ia mengatakan penerbitan Perpres ini melibatkan berbagai Kementerian sebagai stakeholder, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan. Ia pun memastikan bahwa ratifikasi FCTC ini tidak akan ada konflik kepentingan dari tiap Kementerian dan semua sepakat bahwa negara wajib melindungi anak-anak dari bahaya rokok serta menghormati peraturan daerah yang sudah ada dari berbagai Pemerintah Daerah (Pemda). Ia mencontohkan seperti di DKI Jakarta yang sudah ada aturan dilarang merokok untuk tempat tertentu dan itu disebutnya harus dihormati semua pihak. Agung menambahkan bahwa dengan ratifikasi FCTC ini, maka Indonesia secara global masuk dalam barisan negara yang melindungi masyarakatnya dari bahaya merokok. "Kami pastikan ratifikasi ini tidak akan mematikan pabrik rokok, tidak akan melarang orang untuk merokok, dan juga tidak akan mematikan petani tembakau," paparnya. Ia mencontohkan China yang meneken ratifikasi FCTC ini 4 tahun lalu, produksi rokoknya justru meningkat, tapi jumlah perokok barunya menurun. Kendati begitu, Agung tidak menjamin bahwa ratifikasi ini otomatis akan membuat jumlah perokok di Indonesia menurun. Pengangguran bertambah Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh menilai ratifikasi FCTC dapat memicu terjadinya pengangguran serta menimbulkan kekhawatiran karena pemerintah tidak mempertimbangkan industri rokok rumahan. "Pemerintah terlihat makin tidak pro terhadap pekerja dan buruh," ujar Poempida akhir pekan lalu. Ia bilang jika pemerintah tetap mengambil kebijakan itu, maka pengangguran akan makin besar. Apalagi dari data BPS terkini menyebutkan telah terjadi penurunan jumlah angkatan kerja. Politisi Partai Golkar ini mempertanyakan keuntungan meratifikasi FCTC, yang hanya menimbulkan kesan RI telah disetir oleh asing. Ia mengatakan industri rokok atau tembakau di Indonesia sangat unik, sehingga harus ada cara yang khusus juga dalam menanganinya. Selain itu, kebijakan global tersebut belum cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan