Perpres untuk Kota Megapolitan yang Lebih Hijau



JAKARTA. Rancangan konsep Kota Megapolitan sudah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Rabu (27/8) silam.  Ikhtiar memadukan rencana tata ruang kota antara Ibu Kota Jakarta dengan kota Bogor, Tangerang, Depok, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2008.

Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Imam S Ernawi pekan lalu di Jakarta mengatakan, Perpres ini dikeluarkan mengingat permasalahan di Jabodetabekpunjur sudah kian kompleks dan menjadi permasalahan yang bersifat nasional.

Dengan adanya Perpres ini, pemerintah berharap perencanaan pembangunan di kawasan tersebut dapat dilakukan secara terpadu, lintas sektor, dan lintas daerah. Nantinya, masing-masing daerah yang berada di kawasan Bodetabekpunjur hanya boleh membangun sesuai porsi yang telah diatur. 


Perpres ini mengatur tata ruang kawasan berbasis lingkungan. Maksudnya, konsep Megapolitan bukanlah penyatuan wilayah, melainkan bentuk keterpaduan pembangunan daerah yang berbasis ekologi atau lingkungan. Selama ini, Jakarta dengan Bodetabekpunjur tidak memiliki keterpaduan sehingga muncul ketimpangan.  

Menurut Agus Sutanto, Kepala Sub Direktorat Kerjasama Lintas Sektor, Direktorat Penataan Ruang Nasional, ketimpangan muncul lantaran kota-kota tersebut tidak memiliki platform bersama."Sekarang Jadebotabekpunjur sudah punya panduan untuk menangani infrastruktur wilayah, termasuk prioritas infrastruktur mana yang akan ditangani terlebih dahulu," katanya.

Mengenai skala prioritas program, Perpres tersebut memang tidak menjelaskan secara terperinci. Tapi, kata Agus, jaringan transportasi dan pengendalian banjir menjadi target yang pertama kali akan dituntaskan.

Khusus untuk pengendalian banjir master plannya bahkan sudah ada. Mulai dari penghijauan hulu (Kabupaten Bogor), normalisasi alur sungai yang selama ini masih terfokus pada pembangunan banjir kanal, sampai ke hilir dengan menambah jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Untuk wilayah DKI Jakarta, porsi RTH saat ini hanya tersisa 10%. Padahal porsi RTH di sebuah kota itu idealnya mencapai 30%. "Masalahnya, tanah di Jakarta itu sudah mahal, jadi untuk menggusur-gusur gedung untuk dijadikan taman biayanya tinggi sekali, " tambah Agus. Agus juga menyodorkan fakta tentang kondisi daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang hanya tinggal 15%. Padahal untuk menampung air diperlukan DAS seluas 30%, "inilah mengapa masalah banjir ini jadi prioritas, " imbuh Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test