Belakangan ini publik mendapat suguhan perdebatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Perdebatan terkait implementasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 20 tahun 2018 yang melarang mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi sebagaimana tercantum di Pasal 7 ayat (1) huruf j. KPU berpendapat, aturan tersebut sebagai sarana penyaringan awal terhadap latar belakang dan kualitas para calon anggota legislatif. Tetapi Bawaslu memandang ketentuan tersebut bertentangan dengan perundangan lain yang lebih tinggi, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) serta Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Perbedaan persepsi ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sehingga nampak tidak ada sinergi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ihwal timbulnya kegaduhan di masyarakat ini ketika Bawaslu kembali meloloskan beberapa caleg yang dianggap tidak memenuhi syarat KPU berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf j PKPU tersebut.
Sedari awal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) gamang mengesahkan aturan KPU yang menjadi sumber polemik Bawaslu dan KPU saat ini. Ini terlihat ketika Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan naskah beleid tersebut agar direvisi karena dipandang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan putusan Mahkamah Konstitusi. Gamangnya pemerintah terlihat ketika KPU bersikukuh meminta agar aturan tersebut segera disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dengan perspektif KPU bahwa jika ada perbedaan pendapat akan diuji secara hukum melalui mekanisme pengujian peraturan perundangan dibawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung. Mengutip pernyataan Menteri Hukum dan HAM bahwa Kementerian Hukum dan HAM bukan tukang stempel, ini dapat dipahami mengingat sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 31 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. Kementerian Hukum dan HAM harus menelaah peraturan yang akan diundangkan, apakah telah sesuai dengan perundangan lain. Kini Perdebatan KPU dan Bawaslu terkait aturan KPU ini perlu segera diluruskan, sebelum publik semakin tersesat dalam memahami persoalan PKPU dan implementasinya. Implementasi PKPU ini menimbulkan perdebatan. Pasalnya KPU sebagai inisiator melihat ketentuan aturan KPU Pasal 7 ayat (1) huruf j yang menjadi inti persoalan dengan sudut pandang postulat hukum. Aturan KPU Pasal 7 ayat (1) huruf j dalam sudut pandang postulat hukum artinya bahwa pangkal (dalil) dalam ilmu hukum yang dianggap benar tanpa perlu membuktikan lagi. Pandangan KPU ini sama sekali tidak salah jika persoalan ini dipahami secara postulat, benar bahwa bangsa ini perlu calon anggota legislatif yang rekam jejaknya bersih dan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. KPU memandang perdebatan ini sebagai perdebatan substantif, jika dikaji substansinya maka substansi PKPU pasal 7 ayat (1) huruf j telah sesuai dengan arah politik hukum yang dikehendaki masyarakat. Artinya, saat ini masyarakat memang membutuhkan perubahan figur wakil rakyat yang bersih sehingga aturan KPU Pasal 7 ayat (1) huruf j dipandang untuk memenuhi perubahan yang dikehendaki masyarakat tersebut . PKPU Pasal 7 ayat (1) huruf j tersebut sudah tepat secara postulat, artinya rumusan yang terkandung dalam pasal tersebut sudah dapat diterima sebagai satu kebenaran yang memenuhi arah perubahan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat. Meskipun postulat tidak menguji bukti empiris dari sebuah proposisi hukum. Bawaslu dalam hal ini memandang ada kendala untuk mengimplementasikan substansi pasal 7 ayat (1) huruf j ke dalam sistem hukum secara tepat. Mengingat aturan KPU ini dipandang bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam kerangka peraturan perundang-undangan postulat hukum memang tidak mungkin berdiri secara tunggal. Tetapi untuk dapat menjadi hukum terapan maka postulat tersebut harus dimasukkan ke dalam sistem hukum. Sebagaimana argumen Bawaslu terhadap peraturan KPU Pasal 7 ayat (1) huruf j bahwa ketentuan tersebut menabrak sistem hukum yang ada dan lebih tinggi, sebagaimana aturan dasar dalam sistem hukum yaitu lex superiori derogate legi inferiori, artinya aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Harus kompromi Persoalan sistem hukum inilah yang kemudian menjadi pangkal polemik Bawaslu dan KPU. Memahami persoalan sistem hukum artinya persoalan pada PKPU Pasal 7 ayat (1) huruf j dipandang sebagai persoalan prosedur, bukan persoalan substansi sebagaimana perspektif KPU. Ini murni merupakan persoalan tata hukum. Sehingga persoalan ini tidak dapat digeser pada wacana pro-kontra mantan koruptor kembali mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif. Hal yang mendesak untuk segera dilakukan KPU dan Bawaslu adalah menyelesaikan persoalan dengan pendekatan kompromi sehingga tidak merugikan masyarakat luas mengingat pemilu legislatif telah semakin dekat. Pentingnya melakukan pendekatan kompromi adalah mengingat substansi peraturan KPU Pasal 7 ayat (1) huruf j telah memenuhi harapan masyarakat luas guna mencari wakil rakyat yang lebih baik. Di sisi lain aturan harus dikonversi menjadi peraturan sehingga mengacu pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memenuhi tahapan dan prosedur. Kembali pada hakikat demokrasi yang menempatkan suara rakyat sebagai suara Tuhan (vox populi,vox dei) artinya pilihan akhir tetap diserahkan pada rakyat sebagai konstituen. Maka saat ini tugas KPU adalah mensinkronkan aturan KPU dengan UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009 yang telah mengatur secara detail syarat peserta pemilu.
KPU bisa merevisi Pasal 7 ayat (1) huruf j dengan menyesuaikan dengan UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Hal ini guna menjamin kepastian hukum. Mengingat sebenarnya peraturan KPU adalah mengatur hal teknis bagi penyelenggaraan pemilihan umum sepanjang tidak diatur dalam UU Pemilu maupun peraturan lain yang sifatnya lebih tinggi. Kompromi harus dilakukan pada frasa Pasal 7 ayat (1) huruf j dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Frasa tersebut harus dikompromikan dengan mengacu pada Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu yaitu Seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.•
Rio Christiawan Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi