Kita punya pengalaman menghadapi terjadinya bencana sudah kita alami. Mulai dari bencana yang kecil sampai yang besar. Katakanlah bencana banjir atau longsor, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan. Korbannya puluhan orang. Bencana yang besar pun sudah sering kita alami. Mulai dari gempa dan tsunami di Aceh. Dampaknya sampai ke Pulau Nias. Korbannya mencapai ratusan ribu jiwa. Menyusul gempa di Yogyakarta, Mentawai, dan Sumatra Barat, Flores, Banggai, Lombok, Palu, serta yang terakhir tsunami di Banten dan Lampung. Jika kita mau belajar, sejak gempa dan tsunami di Aceh, sesungguhnya kita bisa menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi bencana. Anehnya, setiap kali bencana yang terjadi sepertinya kita kembali tersadar dan segalanya muncul sebagai hal baru.
Ketika gempa di Lombok, muncul perdebatan apakah perlu dijadikan sebagai bencana nasional atau tidak? Walau semuanya akan menjadi perhatian secara nasional. Segala potensi yang dimiliki, disiapkan untuk menghadapinya. Lain lagi kala menghadapi gempa di Palu dan daerah Sulawesi Tenggara lainnya. Ada yang menganggap akan tertanggulangi dalam tempo singkat. Padahal sudah berbulan-bulan pascabencana belum juga kembali normal. Perkuliahan mahasiswa masih berlangsung di tenda tenda. Yang menyedihkan, terjadinya pengambilan barang dari toko, karena seolah ada yang merestui. Dan itulah yang tampak di jaringan televisi besar dunia, seperti CNN, BBC, DW dan lainnya. Lain lagi persoalan saat bencana tsunami di Banten dan Lampung. Persoalan yang terungkap adalah hilangnya alat peringatan dini terjadinya tsunami. Yang terakhir soal anggaran yang kecil, bahkan tekornya anggaran bencana. Karena itu, ada beberapa persoalan pokok yang kita hadapi dalam menanggulangi bencana. Mulai dari pelajaran yang harus diperkenalkan kepada masyarakat dan anak anak sekolah (dikenal sebagai mitigasi bencana). Tapi mungkin perlu dilengkapi dengan praktik pelajaran pertama ketika terjadi bencana. Langkah seperti itu harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Banyak pakar yang berpendapat bahwa negeri ini berada dalam lingkar atau lempeng bencana (ring of fire). Yang punya potensi bencana berkelanjutan. Apakah karena ulah manusia juga, misalnya hilangnya hutan yang menyebabkan banjir, atau ulah alam. Karena itu perlu siaga untuk menghadapinya. Masyarakat perlu selalu diingatkan akan hal ini. Termasuk menjaga dan memelihara semua peralatan yang dimiliki terkait dengan kebencanaan. Bisa jadi alat itu selalu diuji. Dan anggaran pemeliharaan selalu disediakan (salah satu kelemahan bangsa ini, misalnya memelihara jalan, jembatan, dan lain lain). Manajemen bencana Harus diakui manajemen negara dalam menghadapi bencana perlu dievaluasi. Mulai dari peranan penting Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Lihatlah di dalam UUD Tahun 1945 (konstitusi) tentang peranan penting Presiden. Pada Pasal 12 UUD 1945 dirumuskan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Sedang di Pasal 10 menjelaskan bila presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Melalui undang-undang dirumuskan Presiden sebagai pemegang kekuasaan atas Kepolisian Negara. Sayangnya peranan itu tidak dirumuskan di Undang Undang. Padahal setiap bencana yang terjadi Presiden selalu hadir dan memberi petunjuk. Bahkan pernah Presiden berkemah di daerah bencana. Sedang, dalam setiap bencana yang terjadi, TNI dan Polri menjadi unsur utama dalam setiap penanggulangannya, terutama dalam tanggap darurat. Kehadiran TNI dan Polri pada gempa dan tsunami di Palu dan Sulteng misalnya mengalami keterlambatan. Pada beberapa bencana yang terjadi unsur pemerintah yang menjadi tulang punggung, terlihat berganti-ganti. Seperti pada bencana di Palu, dan jatuhnya pesawat Lion di Karawang, tampak aparat Basarnas. Sedang di kesempatan lain, akan terlihat aparat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang baru baru ini menyelenggarakan rapat kerja nasional. Presiden telah memberi arahan didalam Rakornas tersebut. Tapi dalam menanggulangi bencana ini, setidaknya terlihat dua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang langsung terkait. Walau dengan titik perhatian yang berbeda. Kehadiran keduanya diatur melalui undang undang, yakni UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan. Yang terakhir ini dulu dikenal sebagai Badan SAR Nasional. Sebagai LPNK, maka kedua lembaga ini memiliki perwakilan di berbagai daerah. Jika dikaji, memang bisa diperdebatkan, bahwa yang pertama untuk menanggulangi bencana. Sedang yang terakhir untuk mencari dan memberikan pertolongan. Pada akhirnya akan ketemu dengan tujuan yang sama, yakni sama sama menanggulangi bencana. Kenapa tidak diintegrasikan? Belum lagi unsur pemerintah lain yang selalu aktif didalam menanggulangi bencana. Dulu ada Menko Kesra, kini berganti dengan Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sementara Kementerian Sosial masih dengan tugasnya dibidang sosial. Begitu juga dengan Kementerian Kesehatan. Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri termasuk Pemerintah Daerah (Pemda). Kalau mau dilengkapi LPNK lainnya, masih tercatat BMKG, BPPT, dan lain lain. Juga TNI dan Polri, baik peralatan maupun personelnya. Jika diteliti secara seksama, maka banyak lembaga pemerintah memiliki anggaran tentang bencana dan penanggulangan bencana. Baik secara khusus untuk menanggulangi bencana alam maupun bantuan sosial. Termasuk lembaga negara seperti DPR, DPD, atau BPK. Saat pemda memiliki anggaran dalam menanggulangi bencana, maka audit (pemeriksaan) laporan keuangannya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saya masih ingat saat menjadi anggota BPK yang membidangi pemda, dengan sendirinya mengaudit dana tsunami Aceh/Nias, baik saat tanggap darurat maupun setelah menjadi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh/Nias. Dalam kenyataannya, BPK tidak hanya melakukan audit laporan keuangan, akan tetapi juga menganalisis manajemennya.
Dengan demikian, maka anggaran penanggulangan bencana sesungguhnya tidak hanya terbatas pada anggaran BNPB sebesar Rp 610 miliar (KONTAN, 28 Desember 2018). Karena memang tersebar di berbagai instansi, baik pemerintah maupun lembaga negara. Juga di berbagai lembaga kemasyarakatan seperti halnya Palang Merah Indonesia (PMI) dan lain lain. Dari uraian diatas, menghadapi bencana ini perlu kajian menyeluruh. Mulai dari pendidikan di sekolah dan masyarakat (mitigasi bencana) sampai manajemen penanggulangan bencana secara nasional. Termasuk menyangkut peraturan perundang-undangannya. Dan lebih lebih lagi di dalam pelaksanaannya.
♦ Baharuddin Aritonang Pengamat Sosial Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi