Pertamina akan mencoret Blok East Kalimantan



JAKARTA. PT Pertamina sudah menuntaskan hasil evaluasi keekonomian delapan blok minyak dan gas (migas) pada akhir Juni 2017. Langkah ini merupakan kelanjutan dari keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyerahkan delapan blok migas tersebut ke perusahaan migas pelat merah itu.

Nah, dari delapan blok migas tersebut, Pertamina menilai kelanjutan pengelolaan Blok East Kalimantan bisa merugikan Pertamina. Sebab, Pertamina harus mengeluarkan dana lebih besar untuk mengelola blok tersebut dibandingkan dengan kebutuhan dana blok migas lain.

Maklum, untuk mengelola blok tersebut Pertamina harus memakai skema gross split yang diklaim oleh banyak perusahaan tambang dari sisi biaya lebih besar ketimbang cost recovery. Persoalannya, perusahaan ini masih harus menanggung biaya penutupan tambang atau pasca tambang alias abandoment and site restoration (ASR)


Kondisi inilah yang menyebabkan Pertamina tidak tertarik mengelola Blok East Kalimantan bekas kelolaan Chevron. "Dalam peraturan baru harus menanggung biaya ASR yang cukup besar," kata Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina kepada KONTAN, Minggu (2/7).

Dalam mengelola blok tersebut, Pertamina wajib menanggung seluruh biaya pasca tambang blok tersebut. Rupanya, pengelola blok sebelumnya, Chevron Indonesia, tidak mencadangkan dana pasca tambang di blok itu.

Pemerintah sebelumnya memang tidak mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menyiapkan dana pasca tambang. Nah, kewajiban ini baru mulai setelah si KKKS meneken kontrak anyar, yang di dalamnya ada klausul soal menanggung biaya penutupan tambang.

Dengan memperhatikan hal tersebut, menurut Syamsu Alam, Pertamina masih akan mengevaluasi kembali perannya di Blok East Kalimantan. "Kami sedang meminta tambahan waktu evaluasi lagi," katanya lebih lanjut.

Sejatinya, Pertamina masih bisa meminta tambahan bagi hasil maksimal 5% dari diskresi Menteri ESDM sesuai dengan peraturan gross split. Adapun bagi hasil bagi KKKS minyak bumi dalam aturan tersebut adalah 43% dan selebihnya, 57%, untuk negara.

Bila pemerintah menyetujui permintaan Pertamina, maka gross split di blok tersebut adalah maksimal 48% untuk Pertamina. Dan selebihnya negara sebesar 52%.

Sejauh ini pemerintah belum menentukan insentif yang tepat untuk membantu Pertamina. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, IGN Wiratmaja Puja menyatakan, pemerintah masih harus menganalisa hasil evaluasi Pertamina. "Kami pelajari dulu hasil analisis Pertamina," kata Wiratmaja ke KONTAN.

Sekedar catatan, pada akhir Januari 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyerahkan pengelolaan delapan blok migas terminasi kepada Pertamina. Delapan blok migas tersebut terdiri dari tiga blok migas dikelola Pertamina, dan lima blok lain dikelola operator lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie