KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pembahasan proyek
Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Cilacap terus bergulir antara PT Pertamina (Persero) dan Saudi Aramco setelah tidak menemui kata sepakat soal valuasi aset beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, di sela-sela pertemuan G20 pada pertengahan Juni lalu, Pemerintah Indonesia telah melakukan pertemuan dengan pihak Saudi Aramco. Dalam pertemuan tersebut disepakati
Joint Venture Development Agreement antara kedua belah pihak yang sedianya berakhir pada Juni 2019 diperpanjang hingga Oktober mendatang.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman ketika dihubungi Kontan.co.id bilang kedua belah pihak telah membentuk tim gabungan untuk menentukan valuer (tim valuasi). "Nanti akan ada valuasi bersama, bulan ini fokus pada pemilihan konsultan," jelas Fajriyah, ke Kontan.co.id, Rabu (3/7).
Lebih jauh Fajriyah memastikan valuasi ini akan meliputi aset serta bisnis. Penetapan pihak independent bersama-sama juga diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan ketidaksepakatan dalam proses valuasi nantinya. Mengutip pemberitaan Kontan, sebelumnya, Pertamina memang sempat menyodorkan nilai valuasi berdasarkan hasil perhitungan Pertamina. Namun, nilai itu ditolak Saudi Aramco. Bahkan, Saudi Aramco juga menolak nilai valuasi dari konsultan
independent dalam hal ini PricewaterhouseCoopers (PWC). Setelah proses valuasi rampung, kedua belah pihak baru akan melanjutkan ke tahap negosiasi serta tahapan lainnya. Fajriyah menambahkan sebelum tenggat waktu pada Oktober diharapkan sudah ada kesepakatan antara Pertamina dan Saudi Aramco. Dalam pemberitaan Kontan.co.id, Pertamina berniat menawarkan skema baru dalam pengembangan proyek Kilang Cilacap. Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, Ignatius Tallulembang menyampaikan, skema baru yang akan diusulkan itu sedang disusun. Apabila skema tersebut disepakati Saudi Aramco, maka akan ada perpanjangan pembahasan selama tiga bulan ke depan untuk pembentukan
Joint Venture Development Agreement (JVDA). Adapun skema baru yang ditawarkan Pertamina adalah tidak lagi melakukan spin off ataupun harus melalui valuasi aset. Selain itu, dalam sekma baru itu Pertamina akan memiliki porsi sendiri dalam pengembangan Kilang Cilacap, dengan tanggungan biaya yang disiapkan oleh Pertamina sendiri. Ignatius bilang, 65%-70% dana pengembangan itu berasal dari pinjaman, sementara sisanya dari
equity. Nah, jika porsi pengerjaan pengembangan yang dilakukan Pertamina sudah selesai, selanjutnya Saudi Aramco ikut terlibat dalam pengembangan kilang tahap selanjutnya. “Jadi bukan
spin off lagi, bukan valuasi aset, tapi mungkin kayak aset baru saja kita kerjasama bikin yang baru," ungkapnya. Yang terang, Revitalisasi Kilang Cilacap akan meningkatkan kapasitas produksi kilang hingga 400.000 barel per hari (bph), dari kapasitas saat ini sebesar 358.000 bph. Meskipun dari sisi volume tidak terlalu besar peningkatannya, tapi kompleksitas produksi kilang akan semakin meningkat tajam dengan standar NCI menjadi 9,4 meningkat pesat dari sebelumnya yang hanya 4.
Menanggapi hal tersebut, Fajriyah memastikan sejauh ini skema yang diadopsi masih merupakan skema
spin off. "Memang ada penjajakan untuk skema lain, jika memungkinkan akan dijalankan apabila memang belum
deal dalam kerangka negosiasi," jelas Fajriyah. Sementara itu Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi menilai langkah ini merupakan sesuatu yang positif bagi kedua belah pihak. "Mutual benefit bagi keduanya, Aramco memiliki jaminan penggunaan
crude untuk diolah di Kilang Cilacap dalam jangka panjang," jelas Fahmy, Rabu (3/7). Lebih jauh Fahmy menilai tenggat waktu pada bulan Oktober sangat memungkinkan bagi kedua pihak untuk mencapai kata sepakat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini