Pertamina dan Total E&P rebutan Blok Mahakam



JAKARTA. Hingga pengujung 2012, siapa pemilik Blok Mahakam di Selat Makassar, Kalimantan Timur setelah kontrak Total E&P berakhir pada 2017 belum ada kepastian. Padahal, sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menargetkan keputusan tersebut sudah bisa diambil paling lambat Desember 2012. Waktu lima tahun tersebut diperlukan agar pemilik dan pengelola baru bisa mempersiapkan diri agar produksi migas blok tersebut bisa dipertahankan.

Yang mengejutkan, Kementerian ESDM justru menyatakan lebih memprioritaskan soal pengembangan Blok East Natuna di Kepulauan Riau terlebih dulu ketimbang kelanjutan Blok Mahakam.

Alhasil, PT Pertamina harus bersabar. Niatan perusahaan migas pelat merah ini untuk mendapat kepastian sebagai pemilik sekaligus sebagai operator Blok Mahakam setelah kontrak berakhir masih harus menunggu. Soal skala prioritas, pemerintah punya argumentasi. "Blok East Natuna itu cadangan gasnya 46 trillion cubic feet (tcf), bandingkan dengan Arun sebanyak 17 tcf, Tangguh 11 tcf, sedangkan Mahakam yang habis kontrak pada 2017 itu tinggal 2 tcf," kata Rudi Rubiandini, Wakil Menteri ESDM di kantornya, beberapa waktu lalu.


Menurut dia, hingga Maret 2013 ini, Kementerian ESDM bersama Kementerian Keuangan akan memfokuskan untuk merampungkan kajian pengembangan Blok East Natuna. Maklumlah, pihak konsorsium di wilayah tersebut menginginkan sejumlah insentif dalam pengembangan blok itu. "Jadi, kalau lihat prioritas, mana yang harus kami urus, ya East Natuna dulu, Mahakam nanti," tutur Rudi.

Sebagai informasi, Total E&P Indonesie mulai menggarap Blok Mahakam sejak Maret 1967 silam lewat perjanjian production sharing contract (PSC). Pada 1997, pemerintah memperpanjang kontrak Total E&E asal Prancis itu hingga 2017. Pada 1997, masuk juga  perusahaan gas asal Jepang Inpex Corp. Perusahaan ini memiliki hak partisipasi dengan porsi saham 50%.

Blok tersebut memiliki cadangan gas terbukti sebesar 27 triliun kaki kubik (tcf). Sejak dieksploitasi mulai 1974 hingga tahun 2012, Blok Mahakam telah menghasilkan sekitar 75% produksi gas nasional. Diproyeksikan setelah berakhirnya kontrak, gas Blok Mahakam hanya tersisa 2,03 tcf dan 52,2 juta barel minyak.

Rudi mengatakan, beberapa hal lain harus dikaji lebih jauh terkait blok itu, diantaranya adalah soal bagi hasil produksi migas. Selama ini porsi bagi hasil gas antara pemerintah dan koktraktor kontrak kerja sama (KKKS) mencapai 70:30 dan untuk minyak 85:15. Nantinya, pada kontrak baru pemerintah mengharapkan porsi yang lebih besar. "Kan sekarang pipa, fasilitas dan sumur-sumur sudah punya negara lewat cost recovery, masak negara hanya dapat gas 70%. Naiklah, lebih dari itu," ucap Rudi.

Terkatung-katungnya kepastian pengelolaan lanjutan Blok Mahakam disinyalir lantaran tarik menarik antar-kepentingan dua calon perusahaan yang ingin menjadi pemilik dan operator di sana, yakni, PT Pertamina dan Total E&P Indonesie. Tahun 2008 yang lalu, Total telah mengajukan proposal perpanjangan kontrak setelah berakhir 2017 termasuk rencana-rencana investasinya.

Pengamat migas Marwan Batubara menilai alasan prioritas, itu hanya merupakan cara pemerintah mengalihkan isu agar Blok Mahakam tidak jadi diambil alih PT Pertamina. "Perdana Menteri Prancis tidak perlu repot datang ke Indonesia pada 2011 untuk meminta perpanjangan kontrak bagi Total E&P, jika memang potensi di lapangan tersebut sangat kecil," katanya. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro