KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan panas bumi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT Pertamina (Persero) menjadi salah satu BUMN yang paling diandalkan untuk urusan pengembangan panas bumi. Mengutip situs PT Pertamina (Persero), terdapat 14 wilayah kerja (WK) panas bumi yang kini dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan kapasitas terpasang sebesar 672 megawatt (MW) own operation dan 1.205 MW joint operation contract (JOC). Jika digabung, total kapasitas terpasang di seluruh WK PGE berkontribusi sebesar 94% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia yang mencapai 2.047 MW.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengatakan, dominasi Pertamina tak lepas dari kebijakan pemerintah sebelum era reformasi yang mendelegasikan pengelolaan wilayah kerja (WK) panas bumi hanya ke BUMN tersebut. Artinya, saat itu belum boleh ada Independent Power Producers (IPP) panas bumi yang berkembang. Baru pada tahun 2003 atau bertepatan dengan terbitnya Undang-Undang No. 27/2003 tentang Panas Bumi pemerintah tidak lagi menjadikan Pertamina sebagai pemilik tunggal WK panas bumi. “Sebelum UU tersebut muncul, belum ada perusahaan swasta yang punya titel pemilik wilayah kerja. Kalau mereka mau bangun IPP, harus sewa ke Pertamina dengan membayar sejumlah royalti,” terang Priyandaru, Rabu (21/10). Sementara itu, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma berpendapat, dominasi PGE selaku BUMN di sektor panas bumi juga disebabkan kualitas teknologi dan sumber daya manusia (SDM) perusahaan tersebut yang lebih mumpuni ketimbang perusahaan swasta.
Baca Juga: Pertamina beberkan tantangan penerapan EOR di lapangan migas Karena sudah lama berkecimpung di industri panas bumi, jelas PGE memiliki pengalaman yang jauh di atas para pemain panas bumi lainnya. Dia pun menilai, dengan berbagai risiko serta potensi yang ada, perusahaan BUMN tetap mesti diprioritaskan dalam urusan pengelolaan panas bumi di Indonesia. Terlebih, hal ini juga menyangkut dengan kedaulatan bangsa. “Kalau swasta gabung, mereka harus berbenah. Panas bumi bukan industri yang quick building. Investasinya baru bisa dinikmati 10 tahun mendatang, perlu stamina panjang,” ungkap Suryadarma, hari ini. Memang, ia tak menampik bahwa BUMN pun kerap mengalami kendala dalam pengembangan panas bumi sekalipun punya modal yang cukup besar. Suryadarma memberi contoh, Pertamina sempat kesulitan mengembangkan panas bumi di WK Lahendong, Sulawesi Utara. Meski kegiatan eksplorasi sudah dilakukan sejak tahun 1982, namun nyatanya pembangkit panas bumi di sana baru beroperasi di tahun 2000. Kala itu, Pertamina kesulitan melakukan negosiasi jual beli tenaga listrik dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang notabene sesama BUMN. Hal tersebut bisa terjadi lantaran harga listrik panas bumi belum cukup menarik dan ekonomis bagi kedua belah pihak.
“Negosiasi seperti itu bisa sampai capek. Bisa jadi harus keluar uang terus, tapi yang masuk hanya beberapa saja. Ujung-ujungnya terpaksa jual murah dengan harapan bisa mengurangi rugi yang ada,” kata Suryadarma. Priyandaru menilai, Pertamina masih akan mendominasi pengelolaan dan pengembangan panas bumi di masa mendatang. Apalagi, masih ada beberapa WK panas bumi yang belum atau sedang dieksplorasi oleh BUMN tersebut. Terlepas dari itu, ia berharap keberadaan Peraturan Presiden mengenai harga jual listrik EBT yang turut mengatur sektor panas bumi bisa menarik bagi para investor. Dengan demikian, para pemain swasta pun bisa turut bersaing dalam industri panas bumi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .