Pertamina dukung tarif listrik EBT yang pro bisnis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menawarkan inisiatif dan insentif menarik bagi investor di sektor pembangkit listrik panas bumi. Selain memberikan fasilitas perpajakan seperti pembebasan PPN, PPh maupun pajak impor, pemerintah melalui regulasi terbaru Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2017 tentang pengembangan energi baru dan Terbarukan (EBT) membuka peluang untuk proses penentuan tarif secara bussines-to-bussines (B2B) antara PLN dan pengembang listrik swasta.

Sebagai perusahaan terdepan yang memproduksi energi panas bumi, PT Pertamina (Persero) mendukung aturan baru pemerintah tersebut. Regulasi yang ramah terhadap investasi itu dinilai bakal mempercepat pembangunan energi terbarukan panas bumi, maupun energi terbarukan lainnya seperti bio massa, hidro, matahari dan lainnya.

"Dalam beberapa tahun ke depan kami masih akan mengembangkan energi panas bumi, untuk itu kami menyambut baik regulasi yang ramah investasi dan mendukung terciptanya clean energy kedepan. Kami sendiri sudah membangun pembangkit listrik panas bumi dengan kapasitas terpasang 587 MW. Potensinya sangat besar, dari total 29 Gigawatt, yang baru terpasang masih kurang dari 3 Gigawatt. Untuk itu regulasi memiliki peran penting dalam pengembangan energi panas bumi ke depan,” kata Elia Massa Manik, Direktur Utama Pertamina, dalam acara Pertamina Energy Forum, Rabu (13/12).


Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yunus Saefulhak menyatakan, regulasi terbaru memungkinkan adanya skema B2B, jika rata-rata biaya pokok produksi (BPP) pembangkit listrik dinilai kurang. Dicontohkan, proyek pembangkit Panas Bumi Rantau Dedap yang berada di Kabupaten Muara Enim dan Lahat, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan pada akhirnya penentuan harga listriknya ditentukan melalui proses amendemen perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).

“Dari target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 mendatang, sekitar 7.200 MW atau 16 persen akan datang dari panas bumi, dan investasi di sektor ini di perkirakan akan mencapai US$ 8 miliar. Untuk itu kita harus menyiapkan beberapa strategi, yang pertama regulasinya harus mendukung. Kemudian pilihan lain, kita juga bisa menggunakan pinjaman lunak, sehingga bisa mendapatkan harga yang lebih murah atau bisa juga bekerja sama dengan negara lain, yang memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga terjadi transfer teknologi di sana,” kata dia.

Ditambahkan, sejak pemerintah memperbaiki regulasi terkait pengembangan panas bumi, investasi di sektor ini semakin meningkat. Dalam setahun terakhir misalnya, ada 80 penandatanganan pembangkit listrik energi terbarukan oleh IPP (independent power producers) dengan kapasitas pembangkit listrik mencapai 1.100 MW yang terdiri dari PLTA, PLT biomassa, PLTP, dengan investasi US$ 2,9 miliar. Sementara potensi energi baru terbarukan di Indonesia mencapai 443,2 GW dan yang termanfaatkan baru 8,8 GW atau 2 persen saja.

“Intinya kebijakan yang kami susun, mengacu pada 3 hal, kompetitif atau murah, terjangkau oleh masyarakat dan ketiga harus terdistribusi dengan baik atau yang dikenal dengan istilah energi berkeadilan. Jadi, kelihatannya memang ada tarik ulur antara kepentingan keekonomian dan kepentingan rakyat dan negara dalam mempercepat pembangunan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” kata Yunus.

Direktur Program Center of Strategic & International Studies  (CSIS) untuk Asia Tenggara, Amy Searight, menyatakan di era Presiden Donald Trump saat ini, posisi Asia Tenggara termasuk Indonesia bagi Amerika Serikat tetap penting. Pada April lalu, Trump mengunjungi Presiden Joko Widodo di Jakarta, disusul kunjungannya ke Pimpinan Vietnam dan Filipina. Trump juga mengundang Perdana Menteri Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia untuk berkunjung ke istana presiden AS.

“Trump juga menginisiasi kerjasama ekonomi negara-negara Asia Pasifik,termasuk dengan Jepang, Australia, India dan Indonesia serta negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bagi warga AS sendiri, 60 persen warga mengakui kerjasama dengan negara-negara di Asia akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak,” kata Amy. Ditambahkan, dari sisi kerja sama di bidang energi, AS sendiri diprediksi akan menjadi negara net exportir gas alam mulai tahun 2026 mendatang. AS bisa mengembangkan pasarnya ke Asia, namun masih tergantung pada perkembangan teknologi dan akses ke depan.   “Dari perspektif ini, sebenarnya kita bisa melihat semakin banyak kerjasama B-2-B antara Indonesia dan AS di bidang energi terbarukan, terutama dari sisi banyaknya perusahaan AS yang sudah lebih dulu memiliki teknologi dan akses. Tapi harus dilihat lagi karena trennya dalam beberapa dekade terakhir adalah saling menggantikan. Energi fosil tergantikan dengan energi nuklir misalnya, kemudian tergantikan lagi oleh energi baru dan terbarukan,” kata dia.

Duta Besar Republik India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat menyatakan tantangan masing-masing negara dalam mengembangakan energi baru dan terbarukan berbeda satu sama lain. MIsalnya saja di India, pemerintah tidak bisa mengelak dari polusi udara yang dihasilkan dari kota-kota dengan pertumbuhan populasi dan maraknya pembangunan infrastruktur seperti New Delhi.

“Dilihat dari semua sisi, pemerintahan kami sudah melakukan banyak hal. Misalnya di Delhi, kami melarang angkutan umum menggunakan bensin dan solar dan menggantinya dengan CNG. Kami juga tengah mengembangkan agar tenaga panel surya tidak hanya digunakan pada malam hari namun juga siang hari, tapi bagaimanapun Delhi tetap menjadi salah satu kota penghasil karbon terbesar karena padatnya populasi, kemacetan dan pembangunan di sana,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini