KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair. Merespon hal tersebut, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, terkait perkembangan yang terjadi di KPK, Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Pertamina dalam hal ini juga mengedepankan asas praduga tidak bersalah, dan memberikan pendampingan dan bantuan hukum sesuai peraturan berlaku di perusahaan.
Baca Juga: Karen Agustiawan Dua Kali Terjerat Kasus Korupsi di Grup Pertamina “Kami juga sampaikan bahwa dalam pengelolaan bisnis, Pertamina senantiasa menerapkan proses bisnis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
Good Corporate Governance (GCG) sesuai ketentuan dan regulasi yang berlaku,” ujar Fadjar saat dikonfirmasi, Kamis (21/9). Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, KPK telah mengumpulkan bukti permulaan yang cukup. Sehingga KPK menetapkan Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) selaku Direktur Utama PT Pertamina tahun 2009 - 2014 menjadi tersangka dan langsung dilakukan penahanan. "Untuk kebutuhan proses penyidikan, Tim Penyidik melakukan penahanan tersangka GKK alias KA selama 20 hari pertama, terhitung 19 September 2023 sampai 8 Oktober 2023 di Rutan KPK," ujar Firli dalam konferensi pers, Selasa (19/9). Terkait konstruksi perkara, Firli menjelaskan, sekitar tahun 2012, PT Pertamina memiliki rencana untuk pengadaan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia pada kurun waktu 2009 - 2040 sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk dan industri petrokimia lainnya di Indonesia.
Baca Juga: Eks Bos Pertamina Karen Agustiawan Tersangka Korupsi LNG, Jadi Dirut Harta Naik 16X GKK alias KA yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri. Diantaranya perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction) LLC Amerika Serikat. Firli menyebut, saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL. Tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina. Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan dilingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali. Sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi
oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Atas kondisi
oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh Pertamina. “Dari perbuatan GKK alias KA mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar US$ 140 juta atau setara dengan Rp 2,1 triliun,” ungkap Firli. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto