KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina berencana mengkaji kembali sejumlah kontrak impor LNG yang dimiliki termasuk dengan LNG Mozambik menyusul perubahan proyeksi demand pasca pandemi Covid-19 melanda. Seorang sumber Kontan.co.id menyebut, jika nantinya isu dan rencana pembatalan kontrak terjadi maka Pertamina berpotensi dibawa ke pertempuran legal yang bukan tidak mungkin membuat Pertamina bangkrut. "Mudah-mudahan Mozambik tidak
exercise legal
action tersebut. Terlepas dari “fakta” apakah Mozambique LNG mempunyai kasus yang kuat dan solid untuk dibawa ke arbitrase, tidak ada perusahaan yang mempunyai
common sense mau masuk ke dalam pertempuran legal. Itu akan menguras
resources perusahaan dan berdampak negatif ke image perusahaan dalam jangka panjang," kata sumber Kontan.co.id tersebut Minggu (14/2).
Ia melanjutkan, jika nantinya Mozambik LNG mengambil tindakan hukum maka tentunya hal itu sudah diperhitungkan secara matang. Antara lain, jika pembatalan kontrak oleh Pertamina dinilai membahayakan masa depan proyek dan bisnis serta sudah jika dinilai sudah tidak jalan lain yang bisa ditempuh. Sumber tersebut turut menegaskan dugaan keterlibatan mafia migas sejatinya tidak jelas dan tidak berdasar.
Baca Juga: Ini kapal tanker raksasa terbaru milik Pertamina siap berlayar "Orang-orang yang paham bisnis LNG tahu persis bahwa sistem di bisnis LNG
solidly clean dan
accountable, karena basis-nya jangka panjang dan
end-to-end nya transparan serta sudah terbukti lebih dari 40 tahun," tegas sumber Kontan.co.id. Ia menjelaskan, monetasi cadangan gas hulu dalam bentuk bisnis LNG dibangun secara terintegrasi yang di-
compose dalam
multiple package long-term
contracts yang komprehensif mencakup
infrastructure dan
commercial deal-nya. Setiap elemen terhubung secara ketat dan ter-
expose atau
inherent dengan hukum domino
effect. Oleh karena itu, bisnis LNG basisnya adalah kontrak jangka pajang (95%:5%) untuk menjamin pengembalian investasi proyek, berbeda dengan bisnis dan proyek minyak yang lebih loose dan lebih ke spot basis (10%:90%). Dengan kata lain
market LNG tidak liquid, sebaliknya market minyak sangat
liquid. Dalam proyek minyak, pengembangan monetasi cadangan minyak dapat dilakukan tanpa harus memiliki 100% komitmen pembelian di depan karena market sudah
well establish, liquid dan terbuka. Selain itu, keputusan Pertamina dalam kontrak dengan LNG Mozambik juga dinilai bakal mempengaruhi jalannya proyek. Sumber Kontan.co.id menambahkan, proyek Mozambik LNG didanai melalui Project Financing (PF). Dimana proyek yang tengah berada pada Stage 1 ini bakal ditentukan kelanjutannya ditandai dengan capaian Financial Close (FC) dimana Lenders berkomitmen untuk mendanai
project tersebut.
Baca Juga: Fokus ke Energi Lebih Bersih, PETRONAS Hadirkan Solusi LNG Terbaru "Saya paham mengapa Mozambik nervous dan sampai terfikir masuk ke legal
action karena ada persyaratan-persyaratan penting yang harus dipenuhi ke Lenders untuk mendapatkan FC dan hanya Pertamina yang belum memenuhi dokumen tersebut walapun sudah ada SPA yang
legally binding. Tanpa FC, proyek collapse, itu yang ditakutkan Mozambik," sambung sumber Kontan.
Sementara itu, dari sisi Magnitude kasus Moz LNG-Pertamina. Dari total kapasitas produksi 11.18 MTPA, komitmen pembelian Pertamina adalah 1 MTPA atau kurang dari 10%. Sebesar 90an% kapasitas terbagi oleh 7
dedicated buyers lainnya. Ia menjelaskan, dalam bisnis minyak, 10% jatah Pertamina bisa tidak memiliki pengaruh karena masih berpotensi menemukan pengganti di market yang memang sangat liquid. Kendati demikian, menurutnya, dalam konteks Mozambik hal ini bisa berbeda, pasalnya Pertamina bisa menjadi
deal breaker karena proyek bisa terancam gagal mencapai FC dan tidak bisa masuk ke Stage 2, yaitu tahap Konstruksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari