JAKARTA. Sengketa antara PT Golden Spike Energy Indonesia melawan PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam sengketa ini, Pertamina telah menghadirkan empat saksi fakta dalam untuk membantah adanya pelanggaran perjanjian dengan pihak Golden Spike terkait adanya sole risk. Pada persidangan hari Rabu (23/4), Pertamina kembali menghadirkan dua saksi fakta yakni bekas direktur dan kepala divisi Pertamina. Mereka adalah Zanial Achmad, bekas Kepala Divisi Eksplorasi BPPKA Pertamina tahun 1996-2000 dan Hari Kustoro, bekas Direktur Hulu Pertamina tahun 1993-2000. Dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim Sutiyo ini, Zanial membeberkan fakta-fakta seputar perjanjian kerja antara Pertamina dan Golden Spike. Ia bilang awalnya perjanjian Pertamina dengan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan minyak bumi dan batubara itu dibuat pada tahun 1989.
Bagi hasilnya diatur dalam perjanjian Production Sharing Contract (PSC) tertanggal 6 Juli 1989. Menurutnya, kontraktor yakni Golden Spike wajib melakukan eksplorasi dan menyiapkan sejumlah modal awal untuk membiayai kegiatan eksplorasi. Sementara kewajiban Pertamina adalah berusaha mengawasi agar kegiatan eksplorasi ini berjalan dengan baik. Pertamina sebagai wakil pemerintah tidak mengambil risiko bila kontraktor gagal selama eksplorasi. "Sejauh yang saya tahu, sole risk tidak berhubungan dengan dana awal perihal kegiatan yang didanai kontraktor. Saya juga tidak melihat adanya catatan mengenai sole risk yang disetujui kedua belah pihak," ujar Zanial dalam kesaksiannya. Zanial mengatakan sole risk itu berkaitan dengan kegiatan khusus dan tidak biasa. Itulah sebabnya ia tidak melihat adanya sole risk antara Pertamina dan Golden Spike. Kendati begitu, ia mengakui kalau benar bahwa hanya Golden Spike yang menyetor modal awal. Hal itu dikatakan menjawab pertanyaan kuasa hukum Golden Spike Aldy Dio Bayu. Sementara itu, Heri dalam keterangannya menekankan, bahwa sebagai kontraktor Golden Spike berkewajiban mendanai kegiatan eksplorasi awal sampai sumur tersebut berproduksi. "Sejauh yang saya tahu tidak pernah dibahas mengenai sole risk," tegasnya. Selama ia menjabat sebagai Direktur Hulu Pertamina tahun 1993-2000, Heri bilang ada lebih dari 10 sumur yang dieksplorasi, tapi semuanya kering atau tidak menghasilkan. Namun ketika ditanya kuasa hukum Golden Spike, terkait sole risk yang tercantum dalam kontrak antara Pertamina dan Golden SPike, Heri tidak membantahnya. Ia juga mengakui kalau kontrak tersebut tidak pernah dibatalkan pada masa ia menjabat di sana. Sebelumnya, Senior Manager Legal Pertamina Hulu Energi, Supriadi mengatakan, sejak tahun 2009 yang lalu Pertamina selalu menalangi kegiatan operasi. Dengan adanya gugatan yang diajukan oleh pihak GSI telah mengganggu produksi PHE di Blok Raja Tempirai. "Dampak produksi sangat terganggu. Dimana sebelumnya pada akhir tahun lalu itu masih 400 barel, saat ini sudah dibawah 200 barel,” ujarnya.
Pada persidangan sebelumnya, Pertamina telah menghadirkan Achmad Luthfi yang menjabat Senior Geologist Joint Operating Body (JOB) tahun 1991-1992 dan Deddy Adrian yang menjabat Manager Keuangan JOB tahun 2006-2008. Keduanya juga sependapat tidak ada sole risk antara Pertamina dan Golden Spike. Pada sidang pekan depan, Pertamina kembali berjanji menghadirkan dua orang ahli yang menjelaskan perihal sengketa ini. Seperti diketahui, Golden Spike mengugat Pertamina karena tudingan wanprestasi dengan tidak membayar kewajiban dalam pekerjaan Sole Risk Operation seperti yang tercantum dalam pasal 6.3 PSC. Yaitu denda berupa Sole Risk Exploration well sebesar 300% dan Sole Appraisal Well sebesar 200%. Namun Pertamina membantah tudingan Golden Spike tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri