Pertamina pikir ulang kelola blok gross split



JAKARTA. Sejak muncul Permen ESDM No 15/2015 tentang Pengelolaan di Wilayah  Kerja Migas yang kontrak kerja samanya berakhir, PT Pertamina ketiban rezeki. BUMN tersebut mendapat keistimewaan mengambil blok-blok migas yang habis masa kontrak.

Bahkan pada 31 Januari 2017 lalu,  pemerintah resmi memberikan 8 blok migas ke Pertamina. Namun sayang, hingga saat ini Pertamina belum meneken kontrak bagi hasil delapan blok itu, dengan alasan skema gross split.

Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam beralasan, Pertamina masih memerlukan tambahan waktu melakukan evaluasi aset-aset di delapan blok terminasi (blok yang kontraknya tak diperpanjang). Pasalnya Pertamina bukan pengelola dari sebagian blok tersebut.  


Pertamina bahkan sudah mengirimkan surat secara resmi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, meminta perpanjangan waktu selama sebulan terhitung mulai pekan lalu.

Setelah Pertamina mengevaluasi menyeluruh, baru Pertamina akan mengirimkan proposal ke Kementerian ESDM terkait keekonomian 8 blok itu. "Proposal kami itu dilakukan akhir bulan depan, bagaimana kontraknya melalui skema gross split?" ujarnya akhir pekan lalu.

Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik bilang, saat ini posisi keuangan Pertamina cukup ketat, karena banyaknya proyek yang harus dikerjakan hingga beberapa tahun ke depan. "Oleh karena itu kami bicara dengan ESDM, kami buat perhitungan, reliable dan accountable," jelas Massa. Menurutnya, selain melayani masyarakat, Pertamina juga sebagai korporasi.

Sementara Jonan menjelaskan, jika memang Pertamina tidak sanggup mengelola delapan blok terminasi tahun 2018 dan 2 blok terminasi tahun 2017 dengan skema gross split, maka Pertamina bisa mengembalikan blok tersebut. "Pertamina mulai ngomong di koran, ini dikasih 10 untuk gross split sanggup enggak? Kalau enggak sanggup gampang, ya, kembalikan," tegas Jonan pada Jumat (26/5).

Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM, Tunggal memahami, Pertamina membutuhkan waktu tambahan mengkaji keekonomian 8 blok itu. Ini karena Pertamina menghitung keekonomian 8 blok migas itu dengan skema kerjasama (PSC) cost recovery.

Padahal, sesuai Permen ESDM No 8/2017 tentang kontrak bagi hasil gross split, Pertamina juga wajib memakai gross split dalam mengelola 8 blok migas itu. Meski memahami permintaan tambahan waktu berpikir, Tunggal mengatakan, dirinya khawatir jika Pertamina terlalu lama memutuskan keekonomian, maka tandatangan kontrak akan terlalu sempit.

Lamanya proses keputusan Pertamina juga berdampak pada kesulitan  proses transisi dari operator lama ke Pertamina. Selain itu, ancaman pengangguran di delapan blok terminasi bisa terjadi. "Dampaknya ya ke investasi, tidak jelas siapa yang harus investasi. Kalau jelas, tolong investasi, supaya tidak ada pengangguran dan segala macam," ujar Tunggal.

Dampak selanjutnya adalah risiko penurunan produksi  8 blok tersebut. "Kalau dia tidak mengebor, tidak perbaiki sumur, service, kan risikonya produksi turun," terang Tunggal, akhir pekan lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan