KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) bakal menerima dana kompensasi sebesar Rp 48,25 triliun yang merupakan salah satu alokasi dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menanggapi hal tersebut,
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menegaskan, alokasi tersebut merupakan kompensasi atas penugasan pemerintah kepada Pertamina. "Sesuai dengan laporan keuangan, terdapat piutang pemerintah atas penugasan dari 2017 yang dijadwalkan dibayar pemerintah di tahun-tahun berikutnya," ungkap Fajriyah kepada Kontan.co.id, Kamis (14/5).
Baca Juga: Pengamat: Dana kompensasi BUMN energi wajar diberikan karena membantu cashflow Adapun, dalam catatan Kontan.co.id, per Mei 2019, pemerintah disebut memiliki utang ke Pertamina sebesar Rp 41,6 triliun. Utang tersebut berasal dari kompensasi dari pemerintah ke Pertamina yang telah menjual harga BBM premium dan solar di bawah harga keekonomiannya. Fajriyah melanjutkan, kompensasi tersebut diyakini dapat membantu
cashflow Pertamina yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Ia juga mengungkapkan besaran kompensasi tersebut bakal diperuntukkan untuk operasional Pertamina. Sayangnya, Fajriyah masih enggan merinci lebih jauh mengenai hal tersebut. Sebelumnya, Pertamina mengeluarkan hitung-hitungan mengenai potensi dampak Covid-19 bagi keuangan perusahaan. Skenario pertama yang tergolong skenario berat merupakan hitung-hitungan dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia atau
Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 38 per barel dengan nilai tukar Rp 17.500 per dolar AS. Dengan asumsi tersebut, potensi kehilangan pendapatan mencapai 38% dari target dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun ini sebesar US$ 58,3 miliar. "Skenario kedua, sangat berat penurunannya 45% karena sangat bergantung pada penurunan ICP. Jadi luar biasa di atas 40%," tutur Dirut Pertamina Nicke Widyawati dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Virtual dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (16/4).
Baca Juga: Ada potensi persediaan tinggi pada kilang LNG, KKKS bakal pangkas produksi Skenario kedua yang digunakan Pertamina yakni dengan asumsi ICP sebesar US$ 31 per barel dengan nilai tukar Rp 20 ribu per US$. Nicke melanjutkan, jika kondisi penurunan penjualan yang terjadi pada Maret 2020 terus berlanjut maka potensi kehilangan pendapatan mungkin saja terjadi. Hingga Maret 2020, penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) amblas hingga 34,6% dari rerata penjualan normal. Bahkan realisasi ini merupakan angka penjualan terendah oleh Pertamina sepanjang sejarah berdirinya perusahaan migas pelat merah ini. Di sisi lain, mengenai obligasi global senilai US$ 1 miliar yang terbit pada 23 Mei 2011 lalu yang akan jatuh tempo pada 23 Mei 2021 nanti atau sekitar satu tahun dari sekarang, Fajriyah menjelaskan pihaknya memastikan pihaknya telah mempersiapkan penuntasan kewajiban tersebut. "Kita lakukan pencicilan, kita sudah persiapkan," tandas Fajriyah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .