KONTAN.CO.ID - Siklus Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) merupakan proses yang kompleks dan komprehensif, dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Tahap pertanggungjawaban APBN berperan penting dalam menjelaskan kepada publik terkait pencapaian dan kinerja keuangan Pemerintah selama satu tahun. Menelisik jejak sepuluh tahun terakhir, pertanggungjawaban APBN yang diwujudkan melalui Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah mengalami berbagai dinamika dan transformasi. Hal ini merupakan bentuk upaya Pemerintah dalam menghadirkan pertanggungjawaban yang makin kredibel, transparan, dan akuntabel. LKPP dapat menggambarkan capaian kinerja keuangan Pemerintah kepada masyarakat, sekaligus sebagai bukti bahwa APBN hadir di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Akuntansi Berbasis Akrual
Penyusunan laporan keuangan yang memenuhi standar akuntansi akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, andal, dan relevan, sehingga informasi pada laporan keuangan mempunyai nilai manfaat. Selain itu, perlakuan yang sama terhadap pengakuan dan pengukuran transaksi keuangan akan menghasilkan informasi yang dapat diperbandingkan. Untuk memenuhi amanat Undang-Undang Keuangan Negara, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Peraturan ini merupakan pengganti dari PP Nomor 24 Tahun 2005 yang mengatur SAP berbasis
Cash Towards Accrual (CTA). Dengan terbitnya PP tersebut, Pemerintah Indonesia memiliki landasan terhadap implementasi akuntansi berbasis akrual. Penerapan akuntansi berbasis akrual dinilai lebih dapat menggambarkan kinerja keuangan pemerintah karena tidak hanya mencatat transaksi keuangan berdasarkan arus kas. Seluruh transaksi keuangan negara, baik yang merupakan hak maupun kewajiban, dapat tercatat, disajikan, dan diungkapkan secara memadai di dalam LKPP. Tahun 2015 merupakan tahun pertama implementasi penuh penerapan akuntansi berbasis akrual, ditandai dengan penyusunan laporan keuangan berbasis akrual pada seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) yang selanjutnya dikonsolidasi dalam LKPP. Penerapan akuntansi berbasis akrual pada tahun 2015 menjadi momen penting bagi Indonesia memasuki babak baru pertanggungjawaban keuangan negara. LKPP Tahun 2015 menjadi
milestone penting untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah yang lebih baik. Perkembangan Opini LKPP Perjalanan Pemerintah menyusun laporan keuangan sudah dimulai sejak tahun 2005, dengan penyusunan LKPP 2004. Pada tahun-tahun awal, Pemerintah masih berkutat dengan penyusunan saldo awal yang kredibel, antara lain dengan penelusuran aset Barang Milik Negara (BMN), penertiban rekening Pemerintah, hingga perbaikan tata kelola administrasi pengeluaran dan pendapatan negara. Dengan berbagai upaya di tengah keterbatasan tersebut, pada lima tahun pertama penyusunan LKPP (LKPP Tahun 2004 s.d. 2008), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini
Disclaimer. Opini BPK mulai menunjukan adanya perbaikan pada LKPP tahun 2009, di mana Pemerintah mendapatkan Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Perbaikan kualitas opini ini tidak terlepas dari berbagai usaha Pemerintah melalui perbaikan dari sisi regulasi, kebijakan, dan aplikasi yang digunakan. Dalam kurun tahun 2010 s.d. 2015 Pemerintah menyiapkan infrastruktur untuk mencapai dua sasaran yaitu terwujudnya LKPP berbasis akrual sekaligus meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sistem informasi dan regulasi yang terkait dengan penerapan SAP berbasis akrual memegang peranan penting di dalam upaya pencapaian kedua sasaran tersebut. Beberapa sistem informasi seperti Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), Modul Penerimaan Negara (MPN), dan Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA) digunakan pada saat itu. Dari sisi regulasi, Pemerintah mempersiapkan aturan yang secara detail mengatur implementasi SAP berbasis akrual mulai dari Kebijakan Akuntansi, Sistem Akuntansi, hingga penerbitan petunjuk teknis. Atas LKPP Tahun 2016 akhirnya Pemerintah memperoleh Opini WTP dari BPK untuk pertama kalinya. Raihan ini dapat dipertahankan delapan tahun berturut-turut sampai dengan LKPP Tahun 2023. Upaya Mempertahankan Opini WTP Mempertahankan Opini WTP selama delapan tahun berturut-turut bukanlah pekerjaan mudah. Tantangan yang dihadapi Pemerintah setiap tahunnya selalu berbeda dan membutuhkan usaha yang tidak ringan. Pada LKPP Tahun 2018, Pemerintah harus menjelaskan proses revaluasi yang menyebabkan adanya kenaikan aset tetap Pemerintah secara signifikan. BPK dapat menerima hasil revaluasi aset dimaksud pada LKPP Tahun 2019 dengan kenaikan aset tetap dari Rp1.931,05 triliun menjadi Rp5.949,60 triliun. Dengan kebijakan
extraordinary yang diterbitkan demi menjaga perekonomian nasional di tengah ancaman Pandemi Covid-19, Pemerintah harus mempertanggungjawabkan Program Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) dengan total realisasi selama tiga tahun sebesar Rp1.627,23 triliun (data LKPP 2020, 2021, dan 2022). Seluruh tantangan ini tidak hanya soal mempertahankan opini WTP, melainkan juga untuk menghadirkan pertanggungjawaban atas setiap program yang dilaksanakan secara kredibel, transparan, dan akuntabel.
Peningkatan kualitas LKPP juga tidak terlepas dari langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah seperti penyempurnaan sistem dan prosedur pelaksanaan APBN, penyempurnaan regulasi, kebijakan dan petunjuk teknis akuntansi, peningkatan kualitas pembinaan Sistem Akuntansi Instansi (SAI), serta pemantauan secara berkala atas penyelesaian rekomendasi BPK. Pemerintah pun berkoordinasi aktif dalam penyelesaian dan pemantauan secara berkala atas tindak lanjut rekomendasi BPK. Berdasarkan data BPK, hingga semester II Tahun 2023, Pemerintah telah menyelesaikan 987 rekomendasi atau 96,56% sejak tahun 2004 hingga 2022. Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan melalui Undang-Undang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN (UU P2 APBN). UU ini dirumuskan dengan mekanisme pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bersama dengan Pemerintah, DPR menyampaikan rekomendasi yang berperan penting meningkatkan kualitas pertanggungjawaban keuangan negara. Oleh karena itu, selain menyelesaikan rekomendasi BPK, Pemerintah juga berkomitmen menindaklanjuti seluruh rekomendasi DPR dalam UU P2 APBN.
Dalam hal regulasi, setiap tahun terus dilakukan penyempurnaan untuk mengakomodasi berbagai rekomendasi dan menyesuaikan dengan perkembangan proses bisnis. Tahun 2023 sejumlah regulasi disempurnakan, antara lain melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Perubahan Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat, PMK Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus, dan PMK Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas data, menjaga akuntabilitas dan transparansi LKPP, serta mengantisipasi risiko audit periode berikutnya. Pemerintah juga terus mengembangkan dan menyempurnakan aplikasi yang digunakan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN. Upaya-upaya perbaikan yang krusial dalam teknis penyusunan LKPP oleh pemerintah pusat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir di antaranya: a. Penerapan rekonsiliasi dan konsolidasi data keuangan instansi (penyusunan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga atau LKKL) terotomatisasi melalui sistem E-Rekon&LK pada tahun 2016. Pada tahun ini juga mulai dilakukan
piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) sebagai sarana bagi instansi dalam pengelolaan keuangan yang meliputi tahapan perencanaan hingga pertanggungjawaban anggaran. SAKTI mengintegrasikan seluruh aplikasi instansi yang digunakan sebelumnya. Selain itu, SAKTI menerapkan konsep
single database. Dengan penggunaan SAKTI, seluruh transaksi entitas akuntansi dan entitas pelaporan dilakukan secara sistem elektronik. b. Pemerintah melakukan inovasi strategis dengan pengembangan Aplikasi SPAN-LKPP Terintegrasi pada tahun 2018 yang digunakan untuk mengakomodasi proses konsolidasi dan penyusunan LKPP yang lebih baik. Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal dan efektif menjadikan LKPP yang lebih akurat, akuntabel, dan berkualitas. c. Pada tahun 2019 dilakukan penyempurnaan aplikasi pengelolaan keuangan dan peluncuran Aplikasi Bagan Akun Standar (BAS)
Mobile Online. Di dalam aplikasi ini terdapat daftar kodifikasi dan klasifikasi terkait transaksi keuangan yang telah disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan keuangan pemerintah. d. Implementasi SAKTI dan Monitoring SAKTI (MonSAKTI) pada seluruh instansi. Pada Tahun Anggaran 2022 seluruh instansi K/L menggunakan Aplikasi SAKTI secara penuh sebagai sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban APBN pada instansi pemerintah.
Opini WTP: Apa Selanjutnya? Mempertahankan opini WTP memerlukan upaya keras setiap tahunnya, tetapi Pemerintah juga ingin terus mendorong agar pertanggungjawaban APBN makin kredibel, transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mengintegrasikan antara pelaporan kinerja dengan pelaporan keuangan sebagai upaya peningkatan kualitas pertanggungjawaban APBN. Integrasi pelaporan kinerja dengan pelaporan keuangan dilakukan berdasarkan keluaran (
output) dari setiap program atau kegiatan yang telah direncanakan oleh instansi. Dengan demikian, seluruh capaian
output dapat menjadi bahan evaluasi dalam ketercapaian hasil (
outcome) dari program yang telah direncanakan. Selanjutnya, LKPP tidak lagi hanya sebagai pertanggungjawaban keuangan, melainkan juga dapat menjadi instrumen bagi Pemerintah dalam mengevaluasi program-program yang telah dilaksanakan dan menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan ke depan. Upaya dalam menyusun pertanggungjawaban APBN yang makin kredibel, transparan, dan akuntabel pun diharapkan dapat menjadi bukti bahwa APBN benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjadi alat negara yang berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal