Pertanggungjawaban Investasi Bermasalah



KONTAN.CO.ID - Mengawali tahun 2020, berita investasi bermasalah terus bergulir. Diantaranya, investasi bermasalah dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya dan koreksi ekstrem 40 reksadana saham/campuran yang berkisar 45%-87% per tahun (data Infovesta per 28 Januari 2020. Lihat juga KONTAN, 3 Februari 2020).

Perusahaan finansial yang diregulasi dan diawasi oleh pemerintah dengan sangat ketat ternyata belum tentu aman sebagai tempat berinvestasi. Regulasi yang ketat di sektor finansial sebenarnya membuat nasabah menganggap keamanan investasi dipegang oleh otoritas yang lebih tahu dan punya kewenangan besar. Akibatnya, nasabah cenderung abai (ignorance) dan berperilaku ceroboh (moral hazard) sehingga memperbesar potensi skala kegagalan perusahaan finansial.

Ketika perusahaan finansial gagal, pengamat cenderung menyalahkan ketidakmampuan regulator menjalankan tugasnya. Maka, usulan penyelesaian masalah biasanya berupa memperbanyak regulasi dan pengawasan sektor finansial oleh pemerintah. Padahal, regulasi sektor finansial juga mempersulit perusahaan finansial dibangkrutkan. Dampak negatifnya adalah perusahaan finansial dengan tata kelola buruk terus berjalan meski secara mekanisme pasar seharusnya bangkrut.


Tanggung jawab individu

Dari perspektif individu dan pasar bebas, maka solusinya bukan lebih banyak regulasi dan pengawasan di sektor finansial. Prinsip utama pasar bebas adalah setiap individu memilih yang terbaik baginya dan tidak ada yang menghalangi pilihannya. Karena itu, setiap individu yang bertransaksi finansial harus menyadari akan tanggung jawab pribadi untuk mengamankan harta kekayaannya.

Contoh sederhana, saat konsumen membeli motor. Konsumen akan pergi ke diler yang bonafide. Motor diperiksa dan dipastikan kualitasnya. Si konsumen juga membaca ulasan tentang motor tersebut, meski merek motornya terkenal dan dipercaya banyak orang. Semua itu dilakukan konsumen untuk memastikan kepuasan akan motor yang dibelinya. Bila motor hilang, si konsumen biasa menyalahkan dirinya sendiri yang kurang hati-hati, bukan menyalahkan polisi sebagai petugas yang menjaga keamanan umum.

Hal berbeda terjadi di industri finansial. Saat berinvestasi di produk finansial, seperti saham dan reksadana, investor sering memutuskannya berdasarkan gosip dari orang yang tidak dikenal. Si investor tidak membuat analisa atau memikirkan risiko produk investasi yang dibelinya. Bahkan, investor yang memiliki pengetahuan pun cenderung hanya melihat kinerja jangka pendek dan perkiraan untung besar.

Namun, saat investasi finansial bermasalah, investor biasanya menyalahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai lembaga pengawas yang gagal menjalankan fungsinya. Padahal, OJK melarang manajer investasi menjual produk reksa dana yang memastikan atau menjanjikan hasil investasi. BEI juga sering menginformasikan saham-saham yang harganya bergerak di luar kebiasaan atau unusual market activity (UMA). Sedangkan di industri asuransi, meski tidak ada larangan, produk-produk tabungan (saving plan) dengan imbal hasil tinggi memiliki risiko besar membebani modal perusahaan sehingga mengancam keberlanjutan usaha.

Dalam praktiknya, investor dan perusahaan tidak peduli dengan aturan OJK atau informasi BEI tersebut. Sedangkan investor sangat tertarik membeli produk dengan return tinggi yang dijamin. Inilah yang terjadi dalam kasus penjualan produk seperti reksadana berbasis saham gorengan atau saving plan asuransi dengan imbal hasil sangat tinggi.

Masih dalam konteks tanggung jawab individu, investor juga harus mencari mitra investasi yang paling andal dan terpercaya. Investor harus teliti sebelum melakukan investasi atau transaksi dengan institusi finansial, seperti manajer investasi (MI), asuransi, broker, bank, dan bursa. Investor harus mengevaluasi berbagai aspek si mitra investasi, baik dari kepemilikan perusahaan, tata kelola perusahaan, prinsip dan proses investasi, serta rekam jejak dan kinerja.

Jadi, ketika investor mengalami kerugian sebagai korban investasi bermasalah, dirinya sendiri yang patut disalahkan karena bersikap abai, ceroboh, dan mudah tergoda janji-janji return pasti yang tinggi. Kalaupun si mitra berbohong, lagi-lagi si investor harus merenungkan: mengapa mudah percaya dengan mereka? Dalam konteks korporasi seperti asuransi dan dana pensiun, dewan direksi dan dewan komisaris yang paling bertanggung jawab atas kinerja investasinya.

Penegakan hukum

Setelah investor meningkatkan kehati-hatian dalam proses investasi dan memilih mitra investasi, selanjutnya peran regulator, seperti OJK dan BI yang menjaga kesehatan industri finansial. Harapannya, regulator yang independen dan profesional dapat menegakkan aturan, menyehatkan industri finansial, dan melindungi kepentingan konsumen.

Realitasnya, regulator menghadapi berbagai batasan dalam menjalankan tugasnya. Regulator mengawasi sesuai dengan laporan yang disediakan para pemangku kepentingan seperti: perusahaan terkait, perusahaan efek, manajer investasi, akuntan publik, penasihat hukum, kustodian, dan bursa. Bila para pemangku kepentingan ini bekerjasama menyampaikan laporan yang manipulatif, tidak mudah bagi regulator mendeteksi permasalahan yang terjadi.

Saat potensi manipulasi perusahaan finansial terdeteksi, regulator dibatasi aturan-aturan untuk mengambil tindakan yang tegas dengan segera. Tahapan penindakan juga panjang, dimulai dengan klarifikasi, pembinaan, teguran, sanksi, dan bahkan likuidasi. Regulator juga kesulitan menegakkan proses penindakan bila mengalami konflik kepentingan saat berhadapan dengan perusahaan besar yang dianggap berisiko sistemik atau perusahaan BUMN.

Akibatnya, penanganan masalah di perusahaan finansial cenderung lambat sementara masalah semakin membesar, seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, Bakrie Life, Jiwasraya, dan reksadana saham gorengan. Perusahaan finansial sendiri memiliki tenaga ahli dan pengacara untuk membela diri dari tindakan penertiban oleh regulator, sehingga proses penegakan aturan berjalan semakin lambat.

Dari fakta di atas, peran regulator sebagai pengawas industri finansial akan lebih strategis melalui upaya pencegahan berupa peningkatan literasi finansial bagi investor. Dengan demikian, investor semakin mandiri dan bertanggung jawab atas keputusannya.

Dalam kondisi regulator gagal mencegah fraud di perusahaan finansial dan merugikan konsumen, maka upaya terakhir yang bisa dilakukan investor adalah penegakan hukum. Bagi investor ritel, proses penegakan hukum ini sangat berat karena akan membutuhkan biaya besar, waktu, dan tenaga. Penegakan hukum dari aspek pidana juga terbatas manfaatnya karena tidak membuat jera pelaku, sedangkan investor tetap mengalami kerugian besar.

Penulis : Komite Investasi dan Penempatan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti