Pertimbangkan Likuiditas, Ini Tips Investasi dari COO Lakuemas Geoffrey Aten



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Multiplikasi kapital karena urgensi finansial membawa Geoffrey Aten memulai berinvestasi. Bermula pada tahun 2008, kondisi sosio-ekonomi di Indonesia, khususnya di urban area Jakarta, tempat Geoffrey tumbuh, bisa dibilang sangat berbeda dengan masa sekarang.

Geoffrey menceritakan faktor utama yang ia rasa jauh berbeda. Dia melihat, keterbatasan informasi dan instrumen investasi masih sangat minim menurutnya. Informasi khususnya mengenai instrumen investasi belum terlalu banyak dan para newbie investor seperti dia harus meriset dan mencari informasi dengan lebih mendalam secara mandiri.

"Baik itu lewat media konvensional (seperti koran, majalah, dan TV) atau dari testimoni pakar atau teman/relasi yang saya yakini sebagai seorang pakar," kata Goffrey saat ditemui Kontan.co.id, belum lama ini.


Saat ini ia telah menyandang sebagai Chief Operating Officer (COO) Lakuemas. Jika dibandingkan dengan saat ia memulai berinvestasi, terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang sangat jauh. Pada 2008, angka UMR Jakarta hanya sekitar Rp 2,90 juta. Dengan pendapatan tersebut mendorong dirinya untuk mendapatkan atau memultiplikasi kapital agar semakin besar. 

Baca Juga: Direktur Metropolitan Land (MTLA) Olivia Surodjo Memetik Hasil Disiplin Investasi

Karena instrumen dan investasi terbatas, Geoffrey memulai investasi dengan saham, yang mana relevan dengan motif awalnya. Melalui instrumen saham, ia memulai portofolio investasi cenderung dengan agresif, karena ingin menghasilkan high return.

"Karena kala itu, instrumen yang dapat mengakomodir motivasi saya ya hanya saham. Instrumen-instrumen lain yang high return (seperti kripto) belum banyak dan belum terbuka akses informasinya. Dimotivasi juga dengan kepercayaan diri saya, di mana saya yakin bahwa data-data yang saya pegang itu akurat dan tepercaya," lanjutnya.

Pada kala itu, ia melihat jumlah investor belum sebanyak sekarang. Knowledge-production mengenai instrumen-instrumen investasi pun tidak dimiliki mayoritas masyarakat, jadi, agresivitas Geoffrey dalam “bermain” di area investasi saham pun seakan memberikan kepuasan tersendiri.

Dengan bermodal tekad, ia merasa tahun 2008 itu merupakan tahun yang penuh tantangan. Adanya krisis ekonomi yang menyerang dirinya sebagai pelaku di industri tempat dirinya bekerja saat itu. Meskipun bagi sebagian orang tahun terlihat sebagai waktu yang sulit untuk memulai investasi, namun tidak dengan Geoffrey. Dia melihat tahun ini sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh di luar seorang manusia pekerja yang hanya hidup mengandalkan penghasilan UMR.

"Saya giat belajar dan meriset mengenai cara-cara berinvestasi, bahkan secara sosial pun saya berusaha memilih figur-figur teman yang bisa saya ajak berdiskusi mengenai topik ini," kata Geoffrey.

Baca Juga: Hati-Hati! Bitcoin Lebih Liar Menjelang Halving Day

Namun, yang menarik, saat itu ia sangat amat termotivasi untuk belajar dan mengeksekusi pengetahuan sehingga ia yakin atas pengetahuannya yang cukup, dan Geoffrey langsung terjun secara agresif ke saham-saham yang populer saat itu, di indeks saham Hang Seng dan Nikkei.

Sejak saat itu, ia mulai menyadari pentingnya diversifikasi, Goeffrey menyisihkan sebagian kecil dari portofolionya untuk emas dengan porsi sekitar 15%. Kemudian juga memilih untuk menyisihkan sebagian kecil dalam mata uang kripto sebesar 25%, sementara sisanya dialokasikan di pasar saham.

"Tujuan saya dalam berinvestasi sangatlah bervariasi, tetapi seperti yang tadi saya sebutkan, yang utama adalah motif ekonomi, multiplikasi kapital. Karena saya paham bahwa saya butuh kapital untuk dapat dikonversi menjadi hal-hal materiil lainnya," ungkap dia.

Saat ini, portofolio investasi Geoffrey terdiri dari beragam instrumen, yang dipilih berdasarkan pertimbangan likuiditas serta potensi pertumbuhan. Sebagian investasinya dialokasikan pada properti, meskipun dirinya menyadari bahwa properti cenderung menjadi aset tetap yang kurang likuid untuk diperdagangkan. Namun, Geoffrey melihat nilai jangka panjang dalam kepemilikan properti sebagai bagian dari diversifikasi aset.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Reksadana dan Deposito

Geoffrey cenderung berinvestasi dalam hal-hal yang lebih likuid, seperti saham, kripto, dan emas. Proporsi investasi non-likuid Geoffrey terdiri dari 70% properti, 10% barang-barang hobi seperti jam tangan dan sneakers, serta 20% dalam otomotif. Geofrrey percaya bahwa barang-barang hobi memiliki nilai tambah dalam hidup.

Di sisi lain, investasi yang memiliki likuiditas tinggi juga sangat penting bagi Geoffrey. Oleh karena itu, dia mengalokasikan 15% untuk emas, 25% untuk kripto, dan mayoritas, yakni 60% dalam saham.

Meskipun porsi emas terlihat lebih kecil, namun keberadaannya sangat krusial sebagai safe haven. Geoffrey melihat emas sebagai perlindungan dalam situasi force majeure atau ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Emas juga memberikan rasa percaya diri bahwa dia memiliki cadangan yang dapat diandalkan untuk bertahan dalam kondisi apapun.

"Saya akui, saya sendiri pun merupakan tipe investor yang cenderung berubah-ubah, cenderung agresif karena fokus utama saya adalah untuk memultiplikasi aset-aset saya. Tapi namanya manusia kan berubah-ubah, jadi saya menyesuaikan dengan keadaan, sekarang mulai berpikir mengurangi agresifnya. Kalau sekarang, mungkin saya lebih cocok dibilang sebagai semi-agresif tapi kalau bicara strategi investasi, saya rasa yang tidak berubah," tuturnya.

Baca Juga: Strategi Investasi Jeff Bezos: Berani Ambil Risiko Dapat Membawa Keuntungan Besar

Tips Investasi

Geoffrey memiliki sejumlah prinsip dalam berinvestasi. Pertama, ia menyarankan, sebelum terjun berinvestasi apapun, baiknya untuk mencari terlebih dahulu mengenai informasi akan instrumen investasinya, seperti data-data dan sifat-sifatnya.

Tidak kalah penting untuk memahami tipe investor diri sendiri, seperti agresif, moderat atau konservatif, yang sesuai dengan tujuan utama berinvestasi. 

"Refleksi diri macam ini pun harus dilakukan berkala, karena diri kita manusia itu fluid. Sangat rentan berevolusi dan beradaptasi dengan kondisi sosial dan lingkungan. Seperti yang sempat saya sebut sebelumnya. Konteks kehidupan manusia saja bisa berubah," tuturnya.

Terakhir, perlu juga mempersiapkan mental dan keyakinan. Hal paling penting yang terkadang suka dilupakan yaitu menyalahkan orang lain atau keadaan ketika yang dilakukan gagal. 

"Segala bentuk keputusan investasi adalah keputusan yang kamu buat secara sadar sebagai investor, bahkan sebagai manusia. Kalau ada konsekuensi pahit yang terjadi, hadapi dan jalani dengan berani," tegasnya.

Baca Juga: Tips Jalani Masa Pensiun Tanpa Membebani Anak dari CEO Manulife Aset Manajemen

Selama perjalanan investasi, salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika Geoffrey terjun ke pasar saham yang sedang tren pada waktu itu. Sekitar 90% dari seluruh saham yang ia miliki, ia alokasikan ke saham tersebut. 

"Saat itu momentumnya tepat dan saya merasa seperti melakukan gerakan yang tepat dengan mengambil kesempatan pada saat yang pas," kata dia. Hasil dari keputusan agresif tersebut untungnya berujung positif. 

Namun, saat ini dirinya sudah tidak lagi melakukan hal serupa. Walaupun berujung manis, Geoffrey bilang, bahwa manuver-manuver yang seperti ini belum tentu akan ia lakukan lagi dalam waktu dekat.

"Pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya memiliki mental yang kuat dan keyakinan yang kokoh sebelum melakukan pembelian saham. Sebelum mengambil keputusan, saya selalu memastikan untuk melakukan riset mendalam tentang prospek dan masa depan bisnis yang ingin saya investasikan," lanjutnya.

Adapun tips dari Geoffrey adalah untuk tidak gegabah dan melakukan trading, bahkan mencoba serta mencicil dalam pembelian saham, daripada bertindak impulsif. Lakukan riset yang mendalam sebelum berinvestasi, dan jangan ikut-ikutan teman atau tren.

Baca Juga: 7 Kebiasaan yang Bikin Orang Tetap Miskin dan Sulit Kaya Menurut Warren Buffett

Meskipun menjadi COO di industri emas, ia ternyata juga gemar mengoleksi jam tangan dan sepatu sneakers. Menurutnya, keduanya memiliki likuiditas yang rendah dan kurang cocok untuk dijadikan alat untuk multiplikasi kapital.

Ia melihat barang-barang tersebut sebagai investasi pada self-value. Karena menurutnya, barang-barang luxury baik itu otomotif, jam tangan, perhiasan, fesyen (pakaian, sneakers, sepatu), memang merupakan barang-barang yang perlu atau bahkan butuh untuk mampu peroleh pada milestones hidup.

"Singkatnya, barang-barang yang saya sebutkan tadi sebagai self-value investment penggunaannya akan lebih kepada simbolisasi positioning seseorang dalam konteks sosialnya," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati