Pertobatan Ekologi di Kenormalan Baru



KONTAN.CO.ID - Setiap 5 Juni minggu lalu diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia. Peringatan yang dimulai sejak 1972 ini selalu dimaknai sebagai renungan atas kerusakan lingkungan hidup yang kian masif di tengah tekanan laju pertumbuhan penduduk. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, penggunaan bahan bakar fosil yang kian boros dan pembuangan limbah plastik sebagai dampak samping kehidupan modern membuat bumi semakin merana.

Bahkan diyakini bahwa faktor penyebab Covid-19 adalah reaksi alam atas kerusakan lingkungan. Covid-19 disebut-sebut sebagai tragedi ekologis yang kemudian menjadi tragedi kemanusiaan. Alam bereaksi negatif terhadap keserakahan manusia yang melakukan eksploitasi berlebihan yang membutuhkan pertobatan ekologi.

Sayangnya, para ahli ekologi mensinyalir bahwa pertobatan ini belum berbuah pada revisi RUU Minerba yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Problem revisi UU Minerba ialah potensi kerusakan lingkungan akibat kerakusan manusia di era kenormalan baru yang digulirkan pemerintahan Joko Widodo.


Covid-19 telah memberi sinyal sunyi bagi pelaku industri tambang yang menguras sumber daya alam secara berlebihan dan lalai merawat bumi. Poin yang tampak jelas saat ini adalah bahwa kekeliruan global yang dilakukan para pemimpin dunia yang tidak mengambil langkah pasti untuk mengelola lingkungan secara baik. Covid -19 menyadarkan dunia bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memantik masalah ekologi yang sulit dijinakkan. Kemajuan ekonomi yang ekstraktif terhadap sumber daya alam tidak hanya menimbulkan perusakan ekologi, tetapi juga melahirkan distorsi sosial yang memicu menetasnya kantong kemiskinan baru dan memunculkan penyakit baru Covid-19.

Kondisi di Tanah Air dapat menjadi serpihan contoh. Pemanasan global tidak lagi hanya teori di atas kertas, tetapi sudah terjadi secara nyata akibat perusakan hutan melalui pembalakan liar untuk kepentingan bisnis pertanian pangan, perkebunan dan pertambangan. Dalam ukuran luas, menurut data FAO, Indonesia tercatat sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap hari dibabat. Prestasi yang memalukan ini dinilai sebagai pemicu datangnya bencana banjir dan musim kering berkepanjangan.

Gagal panen pun kerap membayang-bayangi hidup dan kehidupan petani. Efek domino perubahan iklim terus menghantam pilar kedaulatan pangan. Ketersediaan bahan pangan utama yang kian tergerus mendorong keran impor beras dan pangan lainnya dibuka setiap tahun yang menghabiskan devisa yang tidak sedikit jumlahnya.

Pemerintah patut menjadikan lampu kuning atas kerusakan lingkungan saat memasuki kenormalan baru. Pertobatan ekologi dibutuhkan untuk mencegah ancaman serius kedaulatan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Para pengamat kedaulatan pangan sudah meramalkan akan terjadi kenaikan harga pangan yang berdampak terhadap stabilitas keamanan dan sosial politik. Krisis pangan yang membayangi bisa memicu ketidakstabilan politik dan keresahan sosial.

Langkah antisipasi

Pandemi Covid-19 di satu sisi membuat seluruh umat manusia di bumi mengalami ketakutan, tetapi di sisi lain mendorong pencarian langkah antisipasi untuk berdaptasi memasuki kenormalan baru di semua sektor kehidupan. Dunia mengalami kesulitan akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Sekedar menyebut contoh kenaikan harga pangan tak terhindarkan lagi, dalam tempo sepuluh tahun terakhir harga pangan sudah naik 40% hingga 60%. Kenaikan itu, bila berkepanjangan akan menyulitkan 2,5 miliar penduduk negara berkembang dan sekitar seratus juta jiwa penduduk Indonesia yang tingkat pendapatannya masih di bawah US$ 2 per hari.

Berangkat dari masalah dan dampak perubahan iklim, ketersediaan pangan harus dirancang tidak sekadar mencapai swasembada dengan hanya menggenjot produksi beras. Di era kenormalan baru ini, pemerintah harus mampu menyediakan berbagai sarana dan prasarana pertanian untuk memacu produksi beragam jenis pangan secara mandiri. Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangannya membutuhkan kedaulatan untuk menegakkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka. Kebijakan pangan nasional harus steril dari berbagai tekanan pihak asing.

Tingkat perusakan hutan dan derasnya laju konversi lahan pertanian yang mencapai 110.000 hektar per tahun selain mencederai pembangunan berkelanjutan juga bermuara pada krisis pangan yang berkelanjutan. Industri pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dituduh tidak ramah lingkungan dan penyebab rusaknya kesuburam tanah dan mendorong perubahan iklim. Perkebunan sawit misalnya dinilai telah menyumbang 20% emisi karbon global. Tuduhan kerusakan hutan yang terus digulirkan sejumlah LSM internasional menempatkan Indonesia sebagai mesin perusak hutan tercepat dan penyebab utama pemanasan global.

Konon hutan Indonesia tengah mengalami tekanan yang luar biasa akibat perluasan kelapa sawit. Jika tahun 1980 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru mencapai 29.560 hektar maka tahun 2018 Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 14,5 juta hektar dengan produksi 43,0 juta ton CPO. Kerusakan hutan di Indonesia menjadi alasan utama yang menghambat ekspor produk CPO asal Indonesia ke negara maju karena dinilai berkontribusi besar pada pemanasan global.

Karena itu, perubahan iklim menjadi tantangan tersendiri dan dijadikan momen penting guna merancang program revitalisasi pembangunan pertanian berkelanjutan yang membumi. Masa depan bangsa ini harus diarahkan ke industri hijau, sustainable, sejahtera dan berdaulat atas pangan di era kenormalan baru yang segera kita masuki.

Kita berharap lewat kenormalan baru yang menjadi tujuan bersama umat manusia pasca Covid-19 akan melahirkan komitmen politik pemerintah untuk melakukan pembangunan selaras alam guna mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga perubahan iklim bisa direm. Pembangunan pertanian menuntut perubahan gaya hidup berbasis ekonomi kapitalistik menjadi ekonomi hijau guna menjaga bumi Indonesia tetap subur.

Makna kenormalan baru yang diusung Covid-19 adalah memberi pesan kepada pemimpin bangsa untuk menjadi lebih bijaksana mengerem laju pemanasan global melalui pertobatan ekologi.

Penulis : Posman Sibuea

Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti