JAKARTA. Ditargetkannya pertumbuhan ekonomi mencapai 7% pada 2014 nanti, butuh dorongan yang kuat dari sektor energi. Tentu saja pemerintah harus membuat ketersediaan pasokan energi yang cukup tinggi. "Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya energi dan potensi energi baru terbarukan yang sangat besar. Minyak bumi kita rasio cadangannya sampai 24 tahun, gas bumi 61 tahun, dan batubara 75 tahun. Kita juga punya potensi energi baru terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, dan mikrohidro," papar Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Sugiharto, Rabu (25/8). Namun sayangnya, lanjut Sugiharto, saat ini peran sektor energi di Indonesia masih belum bisa memberikan multiplier effect terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. "Fiscal policy kita selalu menjadikan sumber energi sebagai pendapatan, ini pendekatan masa lalu, kalau pendekatan saat ini kesejahteraan. Cara pandang selalu risiko fiskal dan lupa untuk membangun efek multiplier," ucapnya. Dikatakannya, kebijakan energi harus mengutamakan multiplier effect dengan cara mengembangkan derivatif energi primer untuk menciptakan lapangan kerja, memicu pertumbuhan sekaligus mengurangi kemiskinan. Pasalnya, negara-negara lain seperti Jepang, China, dan Korea, terbukti berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan kebijakan linkages energy. "Itu pelajaran yang harus bisa diambil. Dukungan kebijakan ke depan harus diarahkan ke linkages energy. Tapi, tentu saja dengan tetap mengelola risiko fiskal," paparnya. Orientasi penggunaan sumber energi harus memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. "Oleh karena itu, paradigma pemanfaatan energi yang saat ini masih berorientasi kepada ekspor atau penjualan atas hasil energi domestik perlu ditinjau ulang,” jelas Sugiharto. Menurut Sugiharto UU No. 22/2001 khususnya pasal 22 tentang kewajiban Domestic Obligation DMO perlu dilakukan revisi. Batasan maksimal yang hanya mewajibkan Badan Usaha Migas untuk menyerahkan hasil produksi migas sebesar 25% sebagai DMO, (pasal 22) bertentangan dengan semangat untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri (pasal 8). Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Lukita Dinarsyah Tuwo menambahkan, Indonesia memang harus meniru keberhasilan Jepang, China, dan Korea dalam kebijakan energi. Dikatakannya, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan bisa dicapai apabila tidak ditopang oleh ketersediaan energi yang cukup. "Policy payung dan insentif harus didorong agar pada akhirnya penerima manfaat kebijakan energi ini adalah kesejahteraan masyarakat," tutupnya.
Pertumbuhan ekonomi 7%, perlu pasokan energi tinggi
JAKARTA. Ditargetkannya pertumbuhan ekonomi mencapai 7% pada 2014 nanti, butuh dorongan yang kuat dari sektor energi. Tentu saja pemerintah harus membuat ketersediaan pasokan energi yang cukup tinggi. "Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya energi dan potensi energi baru terbarukan yang sangat besar. Minyak bumi kita rasio cadangannya sampai 24 tahun, gas bumi 61 tahun, dan batubara 75 tahun. Kita juga punya potensi energi baru terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, dan mikrohidro," papar Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Sugiharto, Rabu (25/8). Namun sayangnya, lanjut Sugiharto, saat ini peran sektor energi di Indonesia masih belum bisa memberikan multiplier effect terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. "Fiscal policy kita selalu menjadikan sumber energi sebagai pendapatan, ini pendekatan masa lalu, kalau pendekatan saat ini kesejahteraan. Cara pandang selalu risiko fiskal dan lupa untuk membangun efek multiplier," ucapnya. Dikatakannya, kebijakan energi harus mengutamakan multiplier effect dengan cara mengembangkan derivatif energi primer untuk menciptakan lapangan kerja, memicu pertumbuhan sekaligus mengurangi kemiskinan. Pasalnya, negara-negara lain seperti Jepang, China, dan Korea, terbukti berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan kebijakan linkages energy. "Itu pelajaran yang harus bisa diambil. Dukungan kebijakan ke depan harus diarahkan ke linkages energy. Tapi, tentu saja dengan tetap mengelola risiko fiskal," paparnya. Orientasi penggunaan sumber energi harus memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. "Oleh karena itu, paradigma pemanfaatan energi yang saat ini masih berorientasi kepada ekspor atau penjualan atas hasil energi domestik perlu ditinjau ulang,” jelas Sugiharto. Menurut Sugiharto UU No. 22/2001 khususnya pasal 22 tentang kewajiban Domestic Obligation DMO perlu dilakukan revisi. Batasan maksimal yang hanya mewajibkan Badan Usaha Migas untuk menyerahkan hasil produksi migas sebesar 25% sebagai DMO, (pasal 22) bertentangan dengan semangat untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri (pasal 8). Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Lukita Dinarsyah Tuwo menambahkan, Indonesia memang harus meniru keberhasilan Jepang, China, dan Korea dalam kebijakan energi. Dikatakannya, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan bisa dicapai apabila tidak ditopang oleh ketersediaan energi yang cukup. "Policy payung dan insentif harus didorong agar pada akhirnya penerima manfaat kebijakan energi ini adalah kesejahteraan masyarakat," tutupnya.