Jakarta. Dibanding negara-negara di Asia Tenggara, boleh jadi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk paling kencang. Tapi, kecepatan pertumbuhan ekonomi negara kita ternyata tak selalu dibarengi kualitas yang bagus. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 dan RPJMN 2009–2014 jelas menargetkan peningkatan kualitas pertumbuhan. Salah satu indikatornya adalah elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Setiap 1% peningkatan produk domestik bruto (PDB) harus menciptakan 500.000 lapangan kerja. Tahun 2004, untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja baru yang tercipta mencapai 489.000. Cuma, setelah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjalan 10 tahun, kualitas pertumbuhan justru menurun. Saat ini, setiap 1% pertumbuhan ekonomi, hanya mampu mencetak 290.000 lapangan kerja yang baru.
Kualitas yang buruk juga tampak dari indikator ketimpangan distribusi pendapatan yang makin parah. Tahun 2004, proporsi penduduk yang berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi, masing-masing adalah 20,80%, 37,13%, dan 42,07% dari populasi. Tahun 2013, komposisinya berubah masing-masing jadi 16,87%, 34,09%, dan 49,04%. Koefisien Gini juga makin memburuk. Standar ketimpangan distribusi ekonomi antara si kaya dan si miskin ini pada masa Pemerintahan SBY tembus 0,413. Padahal, tahun 2004, Rasio Gini 0,32. Makin tinggi berarti makin timpang. Ketimpangan yang semakin lebar tampaknya menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas dan hanya dinikmati segelintir kalangan. Tapi, Andin Hadiyanto, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, bilang, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil dan berkualitas. Ini tampak dari tren pengurangan pengangguran dan warga miskin yang cukup signifikan. Meski jumlah penduduk miskin terus berkurang, Andin mengakui, Rasio Gini memang naik. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi masyarakat kelas menengah atas tumbuh lebih cepat ketimbang kelas menengah bawah. “Pendapatan kelas menengah naik cepat, sangat signifi kan,” kata Andin. Karena itu, menurut Andin, pemerintah sudah berupaya membikin kebijakan inklusif yang lebih berpihak pada masyarakat menengah bawah. Misalnya, peluncuran Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan memberikan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi masyarakat. Sehingga, meski pendapatan tak naik, masyarakat bisa lebih sejahtera dan lebih produktif. Selain itu, pemerintah selama ini juga sudah merilis pelbagai program bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk membantu kalangan menengah bawah. “Yang jelas, saat kenaikan kelas menengah atas relatif stabil, ketimpangan tidak akan lebar lagi,” kata Andin. Toh, berbagai kebijakan inklusif pemerintah tampaknya belum mampu meredam ketimpangan distribusi ekonomi di masyarakat kita. Bobby Hamzah Rafi nus, Deputi Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan, pertumbuhan ekonomi tinggi memang terkesan dinikmati kelas menengah atas saja, dan belum memberikan banyak kontribusi terhadap penurunan pengangguran serta kemiskinan. Bobby beralasan, pertumbuhan ekonomi selama ini terjadi pada sektor yang memberikan dampak penciptaan lapangan kerja yang kecil. Alhasil, pertumbuhan ekonomi enggak bisa menciptakan lapangan kerja baru sesuai kebutuhan. Tapi, pemerintah bukannya tak menyadari. Menurut Bobby, kondisi itu tak lepas dari perkembangan sektor swasta. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia usaha lebih berminat menggeluti sektor nontradable seperti hotel, keuangan, restoran, dan telekomunikasi. Sementara sektor tradable, contohnya, pertanian dan industri yang menyerap banyak tenaga kerja, tidak cukup berkembang lantaran infrastruktur yang kurang memadai. Karena itulah, pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk memberikan perhatian dalam menangani kekurangan infrastruktur. “Dalam lima tahun ke depan sektor tradable kembali bisa menciptakan lapangan kerja lebih besar,” ujar Bobby. Sektor formal seret Tentu, minat dunia usaha di sektor nontradable tak bisa menjadi alasan. Ahmad Erani Yustika, pengamat ekonomi Universitas Brawijaya, menyatakan, untuk menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan, sektor yang harus tumbuh tinggi adalah pertanian dan industri manufaktur. Pemerintah tentu saja tahu soal itu. Makanya, Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menyayangkan, pemerintah tidak memiliki perhatian khusus untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Di industri manufaktur, pemerintah juga tak memiliki strategi holistik untuk menghidupkan industri dari hulu ke hilir. “Mestinya pemeritah punya strategi pengembangan industri hulu hingga hilir sehingga kita tidak perlu impor,” kata Destry. Lana Soeliastiningsih, pengamat ekonomi Universitas Indonesia, menambahkan, pemerintah sejak krisis 1998 ingin ekonomi cepat pulih, sehingga memilih menggerakkan ekonomi melalui permintaan. Itulah sebabnya, permintaan didorong dengan melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal agar konsumsi semakin kuat. Lantaran produksi terbatas, pemenuhan konsumsi dilakukan lewat impor. “Pemerintah tidak punya strategi dalam investasi dan ekspor impor untuk menghasilkan pertumbuhan berkualitas,” timpal Revrisond Baswir, pengamat ekonomi UGM. Masalahnya, kata Lana, konsumsi yang besar belum tentu diikuti pendapatan yang besar. Saat ini, sektor tenaga kerja banyak ditopang sektor informal. Memang, pekerja di sektor informal bisa memperoleh penghasilan untuk konsumsi. Tapi, kualitas hidup mereka tidak tercukupi karena belum tentu mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Sementara, penciptaan lapangan kerja baru di sektor formal tampak seret. Menurut Lana, hal ini tidak lepas dari langkah banyak perusahaan yang melakukan mekanisasi produksi: mengganti tenaga kerja dengan mesin. Pengusaha juga lebih memilih mengambil tenaga alih daya alias outsourcing, sehingga tidak perlu membayar upah yang mahal. Pengusaha memang tak bisa disalahkan sepenuhnya. Maklum, produktivitas tenaga kerja kita relatif rendah. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah mulai menggerakkan perekonomian dari sisi suplai. Caranya, dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memperbaiki infrastruktur.
Bagi Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, masalah minimnya dampak pertumbuhan ekonomi negara kita bukan hanya soal kualitas. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini kurang cepat. Untuk mencetak 350.000 lapangan kerja baru, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di level 6,7%–7%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan lantaran jumlah penduduk yang masuk angkatan kerja setiap tahun sangat besar. “Kalau di bawah 6,5%, banyak angkatan kerja yang tidak terserap,” kata dia. Jadi, memang harus lebih cepat dan berkualitas, ya. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 46 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander