KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2024 diprediksi berada pada kisaran 5,0%, bahkan tidak menutup kemungkinan hanya 4,9%. Hal itu disebabkan adanya pelemahan pertumbuhan ekonomi secara umum. Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 kemungkinan akan kisaran 5,0% lebih rendah dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,2%. Namun jika tekanan kondisi global dan kinerja beberapa sektor serta subsektor memburuk dalam semester dua ini, maka tidak menutup kemungkinan hanya tumbuh 4,9%. "Didorong adanya pelemahan dinamika perekonomian atau pertumbuhan ekonomi secara umum, terutama sektor dan subsektor yang menyerap tenaga kerja paling besar, yang menurun kinerjanya bahkan sebagian mulai melakukan PHK," jelas Awalil kepada Kontan, Selasa (8/10).
Baca Juga: Indeks Keyakinan Konsumen September 2024 Menurun, Laju Ekonomi Diprediksi Stagnan Hasil survei Bank Indonesia pada September 2024 juga menunjukkan adanya penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Setelah sebelumnya sempat mengalami peningkatan, IKK pada September 2024 turun menjadi 123,5 dari bulan sebelumnya berada pada angka 124,4. Awalil menjelaskan penurunan daya beli masyarakat lebih dicerminkan oleh komponen IKK yang disebut Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). IKK merupakan rata-rata dari IKE dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE adalah penilaian atau persepsi responden (masyarakat/konsumen) tentang kondisi mereka saat ini dibanding 6 bulan lalu. Pada September 2024, IEK turun tipis menjadi 113,9 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yaitu 114,0. Bagian dari IEK yang paling mencerminkan daya beli adalah komponen penghasilan saat ini yang turun dari 122,9 menjadi 122,4. Artinya menurut Awalil mereka yang mengakui pendapatannya saat ini lebih baik dibanding 6 bulan lalu berkurang. "Namun, karena nilai IEK dan komponen penghasilan saat ini masih di atas 100, maka yang menjawab kondisinya lebih baik masih berjumlah lebih banyak," ujarnya. Di antara responden (masyarakat) yang menjawab dengan penurunan skor penghasilan saat ini terbesar adalah kelompok dengan pengeluaran terbawah, yaitu yang Rp 1 juta-Rp 2 juta dan Rp 2,1 juta-Rp 3 juta. Awalil mengatakan yang menarik adalah kelompok yang berkurang signifikan justru kelompok teratas dengan pengeluarannya di atas Rp 5 juta. Awalil mencermati penurunan yang terjadi akibat pelemahan dinamika perekonomian atau pertumbuhan ekonomi secara umum, terutama sektor dan subsektor yang menyerap tenaga kerja paling besar, yang menurun kinerjanya bahkan sebagian mulai melakukan PHK. Untuk mengatasi pelemahan ekonomi ini, menurut Awalil langkah jangka pendek yang dapat diambil pemerintah dengan pelonggaran kebijakan pajak. Misal seperti yang sudah dilakukan perpanjangan PPN DTP perumahan. Penundaan penerapan tarif PPN 12%, atau beberapa penundaan penerapan jenis-jenis PPN dan PPh baru. "Ditambah dengan penggelontoran bansos dan anggaran perlindungan sosial yang masih tersedia, karena biasanya tak terealisasi 100% dari APBN," ungkapnya. Namun, Awalil mengatakan langkah jangka pendek itu hanya bersifat sementara. Langkah yang lebih penting adalah strategi dan kebijakan mendorong serta menggairahkan perekonomian.
Baca Juga: BI: Indeks Keyakinan Konsumen Turun Jadi 123,5 pada September 2024 "Bukan hanya asal tingkat pertumbuhan ekonomi, namun mesti berkualitas, yang perlu dipacu dan didorong tumbuh adalah sektor yang memiliki tenaga kerja banyak," ucapnya.
Di sisi lain, belanja dan pengeluaran pemerintah dalam jangka menengah mesti dirancang lebih efektif dan efisien. Bukan fokus pada nilainya yang makin besar, sementara sebagiannya banyak dibelanjakan untuk barang impor. Sehingga tidak mendorong daya beli masyarakat. Fenomena penurunan daya beli ini beriringan dengan menurunnya jumlah kelas menengah. Sekali lagi hal ini mengindikasikan kinerja pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. "Pertumbuhan masih bertahan kisaran 5%, namun kualitas penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakatnya menurun, hal itu yang mesti diatasi dengan kebijakan ekonomi terpadu dan harmoni antara kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil," jelas Awalil. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi