Pertumbuhan Ekonomi Thailand Melambat



BANGKOK. Pertumbuhan ekonomi Thailand melambat untuk pertama kalinya dalam setahun belakangan. Apa pemicunya? Tenyata, meski ekspor beras dan karet ke luar negeri cukup tinggi, namun permintaan di dalam negeri sendiri merosot.

Asal tahu saja, tingkat ekspor Thailand, yang menyumbang sekitar 70% angka Produk Domestik Bruto, naik 26,3% pada kuartal II dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka tersebut lebih tinggi daripada kuartal sebelumnya yang hanya mencapai 22,9%.

Meski demikian, daya beli masyarakat dan perusahaan tidak sebesar itu. Indeks kepercayaan konsumen pada bulan April hingga Juni menurun seiring tingginya harga minyak. Selain itu, daya beli masyarakat turun lantaran gejolak aksi demonstrasi dan kasus pengadilan atas pemerintahan Perdana Menteri Samak Sundaravej.   Dengan adanya kondisi tersebut, negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini hanya tumbuh 5,3% pada kuartal II dibanding dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut lebih rendah dari ramalan para analis yang mematok pertumbuhan sebesar 5,8%. Padahal, menurut Pemerintah Thailand hari ini, pada kuartal I 2008 pertumbuhan ekonomi Thailand berhasil mencapai peningkatan sebesar 6,1%.


Dengan adanya perlambatan ekonomi itu, berarti, Bank of Thailand boleh jadi merevisi kembali kebijakan untuk menaikkan tingkat suku bunganya tahun ini. Gubernur Bank Sentral Thailand Tarisa Watanagase akan mengalami tekanan yang semakin kuat dari pemerintah untuk menahan suku bunga pinjaman dan meningkatkan perekonomian di tengah-tengah pertanda bahwa inflasi sudah semakin menjinak. 

Sebelumnya, pada 7 Agustus lalu, Deputi Menteri Keuangan Thailand yang baru, Suchart Thadathamrongvej, bilang bahwa Bank of Thailand seharusnya tidak menaikkan tingkat suku bunganya, karena hal itu akan semakin memperlambat ekonomi. Ia lantas menambahkan, Tarisa harus mengundurkan diri jika kebijakan yang diambil bank sentral tidak sejalan dengan beleid pemerintah.

Memang, pada bulan lalu, bank sentral telah menaikkan tingkat suku bunganya menjadi 3,5%. Itu merupakan kenaikan pertama dalam dua tahun terakhir, setelah terjadinya inflasi tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yang mencapai 9,2% pada Juli lalu. Adanya penetapan kebijakan itu mendapat kritik tajam dari pemerintah. 

Namun, Gubernur Tarisa pada 21 Agustus lalu berjanji akan terus menetapkan kebijakan-kebijakannya yang menurutnya terbaik untuk negara. Apalagi setelah Raja Bhumibol Adulyadej memberikan pujian terhadap Bank of Thailand atas kebijakan-kebijakan keuangannya dalam menangani perekonomian dan inflasi.

Meski demikian, para analis menilai, faktor politik suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. “Ketika ada keguncangan politik di suatu negara, hal itu menyebabkan banyak perusahaan yang menahan investasinya. Namun hal itu bisa diperbaiki. Adanya stimulus keuangan dan investasi pemerintah di proyek infrastruktur yang besar dapat membantu perbaikan ekonomi kembali normal tahun depan,” jelas Nicholas Bibby, ekonom Barclays Bank Plc di Singapura.

Hal senada juga diungkapkan Sean Callow, ekonom Westpac Banking Corp. Dia bilang, “Adanya campur tangan politis berpengaruh buruk karena hal itu sangat jelek di mata investor asing,” kata Callow. Untuk itu, Callow memperkirakan Bank of Thailand tetap menahan tingkat suku bunganya pada pertemuan 27 Agustus mendatang. “Bank sentral cenderung untuk tidak menaikkan tingkat suku bunga lebih tinggi lagi. Mereka mungkin berdoa dan berharap bahwa tingkat inflasi semakin mereda dan harga minyak dunia tidak akan kembali naik dalam beberapa bulan ke depan,” jelasnya.

Namun, berdasarkan perkiraan 13 ekonom yang disurvei Bloomberg, Bank Sentral Thailand akan menaikkan tingkat suku bunga untuk jangka waktu satu hari (one-day repurchase) menjadi 3,75%. Jika itu benar terjadi, maka kenaikan tersebut merupakan kenaikan yang kedua dalam dua bulan terakhir. Namun, tingkat suku bunga yang lainnya diperkirakan tetap sama alias tidak mengalami perubahan.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie