KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah perlambatan pertumbuhan industri pengolahan, industri perdagangan dan industri informasi dan komunikasi (infokom) justru kian kencang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sepanjang kuartal pertama lalu mencapai 5,26% secara tahunan (yoy). Sektor ini menyumbang 0,7% sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, naik dari sebelumnya hanya 0,58% pada periode sama tahun lalu. Senada, sektor infokom juga mengalami pertumbuhan positif mencapai 9,03% yoy. Sektor infokom menyumbang 0,47% sebagai sumber pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2019, juga naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 0,37%.
Dalam laporannya, BPS menjelaskan, pertumbuhan sektor perdagangan yang positif seiring dengan meningkatnya penjualan motor dan suku cadang. Selain itu, aktivitas kampanye pemilihan umum juga meningkatkan permintaan barang untuk kebutuhan logistik. Secara keseluruhan, penjualan barang-barang di dalam negeri mengalami kenaikan. Di samping itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai, naiknya pertumbuhan sektor perdagangan terjadi seiring dengan bertambahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan jumlah penduduk kelas menengah ke atas. "Lantas, kebutuhan barang-barang eceran seperti pakaian dan sebagainya meningkat karena kebutuhan terhadap barang tersebut makin tinggi," ujar Faisal, Senin (13/5). Sementara, meningkatnya pertumbuhan sektor infokom, menurut Faisal, juga terjadi seiring dengan semakin pesatnya inovasi teknologi komunikasi secara global. Tambah lagi, iklim ekonomi digital dan media sosial semakin baik dan berkembang seiring dengan besarnya pasar industri telekomunikasi di Indonesia. Besarnya kebutuhan jasa informasi dan komunikasi mendorong pertumbuhan sektor ini semakin tinggi dari tahun ke tahun. Kendati begitu, Faisal menyoroti tren sumber pertumbuhan dari sektor perdagangan dan infokom yang makin meningkat, berbanding terbalik dengan tren pertumbuhan industri pengolahan. "Tren ini semestinya diwaspadai dan diubah karena kita semakin bergantung pada sektor jasa atau sektor
non-tradable. Padahal potensi terbesar kita ada pada sumber daya alam dan bahan baku," lanjut Faisal. Menurut Faisal, tren pertumbuhan sektor perdagangan yang tinggi namun tidak sejalan pertumbuhan industri pengolahan menunjukkan bahwa kebutuhan barang di dalam negeri lebih banyak bergantung pada pasokan produk manufaktur negara luar. Artinya, peran pengolahan tidak berkembang di dalam negeri sehingga Indonesia hanya mengonsumsi barang-barang hasil produksi negara lain. Hal serupa digambarkan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati terkait industri makanan dan minuman di dalam negeri. "Laju pertumbuhan konsumsi yang tinggi, terutama untuk makanan dan minuman, tak sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman itu sendiri," kata Enny. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan dan minuman selain restoran tercatat 5,29% yoy, lebih baik dari periode sama tahun sebelumnya yaitu 5,14%.
Namun, pertumbuhan industri makanan dan minuman di kuartal I-2019 mengalami perlambatan cukup signifikan yaitu hanya sebesar 6,77% yoy, jauh lebih kecil dari pertumbuhan periode sama tahun lalu yang mencapai 12,77% yoy. Jika dibiarkan berlanjut, Faisal menilai, jalan pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan semakin terjal. Selain kontribusinya yang besar pada struktur PDB, industri pengolahan juga menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup banyak, termasuk penciptaan lapangan kerja formal. Sebaliknya, "sektor jasa seperti infokom hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Kalaupun sektor perdagangan banyak menyerap tenaga kerja, tapi kebanyakan terserap pada sektor informal," tandas Faisal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi