JAKARTA. Bak pembahasan rancangan undang-undang (RUU) antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang deadlock alias tidak ditemukan kesepahaman, hal serupa juga terjadi dalam perumusan rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Ketua Umum Himpunan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Yunus Yamani mengatakan, terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi pendapatan antara pemerintah dengan pengusaha pengiriman jasa tenaga kerja."Masih sedang ''diluruskan'' mengenai hitung-hitungan penerimaan. Pemerintah maunya dari total penerimaan sedang PJTKI mengusulkan hanya penerimaan bersih saja," ujar Yunus kepada KONTAN, Sabtu (22/11). Yunus menjelaskan, usulan PJTKI tersebut terkait adanya pengeluaran PJKTI kerap mengalami kasus pembatalan keberangkatan TKI lantaran orang yang bersangkutan mengundurkan diri. Nah bila asumsi penerimaan PJTKI namun teryata batal diperoleh tetap dimasukkan dalam perhitungan penerimaan maka hal itu bakalan memberatkan PJTKI. Menurut dia, pelaku PJTKI menyambut baik langkah pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang menerima masukan agar besaran PPh bagi PJTKI ditetapkan secara final. "Makanya kami berharap, dengan perhitungan yang baik ke depan besaran tarif final tersebut tidak memberatkan," sambungnya. Sekadar informasi, penetapan PPh final bagi PJTKI sendiri dimaksudkan untuk mempermudah pembayaran pajak. Hal itu lantaran selama ini pelaku PJTKI mengaku kesulitan dalam perhitungan karena banyak pengeluaran yang tidak ada bukti alias fakturnya. Yunus mengatakan, penerimaan PJTKI sendiri antara lain berasal dari rekrutmen fee alias pembayaran biaya pengiriman tenaga kerja mulai dari daerah, pendidikan tenaga kerja hingga keberangkatannya ke luar negeri dari sang TKI. Tetapi ini hanya untuk pengiriman TKI di kawasab Asia Pasifik."Untuk TKI yang ke Arab, rekrutmen fee diperoleh dari sang majikannya di Arab. Hal-hal seperti ini yang harus diperhitungkan," tambahnya. Lebih lanjut, pelaku usaha berharap RPP tersebut dapat berlaku secepatnya. Setidaknya, mulai berlaku tahun ini. Bila tidak, ya mulai tahun pajak 2009. "Kalau tidak bisa juga yah mau tidak mau paling mulai 2010," sambung Yunus. Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution sendiri mengatakan, pemerintah dan pelaku PJTKI masih melakukan perhitungan besaran tarif PPh final. Dan untuk itu, masih dibutuhkan waktu untuk penyelesaian pembahasan. Darmin pun mengatakan, rencana penerbitan kebijakan pajak tidak dapat berjalan pada tahun pajak yang telah berjalan. "Nggak ada bedanya dengan PPh final yang lain, mulai berlakunya itu awal tahun. Kalau tidak bisa awal tahun ini yah meleset," ujar dia, akhir pekan lalu.
Perumusan Pajak untuk PJTKI Mandek
JAKARTA. Bak pembahasan rancangan undang-undang (RUU) antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang deadlock alias tidak ditemukan kesepahaman, hal serupa juga terjadi dalam perumusan rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Ketua Umum Himpunan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Yunus Yamani mengatakan, terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi pendapatan antara pemerintah dengan pengusaha pengiriman jasa tenaga kerja."Masih sedang ''diluruskan'' mengenai hitung-hitungan penerimaan. Pemerintah maunya dari total penerimaan sedang PJTKI mengusulkan hanya penerimaan bersih saja," ujar Yunus kepada KONTAN, Sabtu (22/11). Yunus menjelaskan, usulan PJTKI tersebut terkait adanya pengeluaran PJKTI kerap mengalami kasus pembatalan keberangkatan TKI lantaran orang yang bersangkutan mengundurkan diri. Nah bila asumsi penerimaan PJTKI namun teryata batal diperoleh tetap dimasukkan dalam perhitungan penerimaan maka hal itu bakalan memberatkan PJTKI. Menurut dia, pelaku PJTKI menyambut baik langkah pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang menerima masukan agar besaran PPh bagi PJTKI ditetapkan secara final. "Makanya kami berharap, dengan perhitungan yang baik ke depan besaran tarif final tersebut tidak memberatkan," sambungnya. Sekadar informasi, penetapan PPh final bagi PJTKI sendiri dimaksudkan untuk mempermudah pembayaran pajak. Hal itu lantaran selama ini pelaku PJTKI mengaku kesulitan dalam perhitungan karena banyak pengeluaran yang tidak ada bukti alias fakturnya. Yunus mengatakan, penerimaan PJTKI sendiri antara lain berasal dari rekrutmen fee alias pembayaran biaya pengiriman tenaga kerja mulai dari daerah, pendidikan tenaga kerja hingga keberangkatannya ke luar negeri dari sang TKI. Tetapi ini hanya untuk pengiriman TKI di kawasab Asia Pasifik."Untuk TKI yang ke Arab, rekrutmen fee diperoleh dari sang majikannya di Arab. Hal-hal seperti ini yang harus diperhitungkan," tambahnya. Lebih lanjut, pelaku usaha berharap RPP tersebut dapat berlaku secepatnya. Setidaknya, mulai berlaku tahun ini. Bila tidak, ya mulai tahun pajak 2009. "Kalau tidak bisa juga yah mau tidak mau paling mulai 2010," sambung Yunus. Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution sendiri mengatakan, pemerintah dan pelaku PJTKI masih melakukan perhitungan besaran tarif PPh final. Dan untuk itu, masih dibutuhkan waktu untuk penyelesaian pembahasan. Darmin pun mengatakan, rencana penerbitan kebijakan pajak tidak dapat berjalan pada tahun pajak yang telah berjalan. "Nggak ada bedanya dengan PPh final yang lain, mulai berlakunya itu awal tahun. Kalau tidak bisa awal tahun ini yah meleset," ujar dia, akhir pekan lalu.