JAKARTA. Kebijakan pemerintah Indonesia menghentikan perundingan kerjasama perdagangan produk tertentu atau Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Pakistan bakal berimbas pada kinerja ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke sana. Sahat Sinaga, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mengungkapkan pangsa pasar CPO Indonesia di Pakistan pada tahun ini bakal kian mengecil.Pada tahun 2008, Indonesia masih bisa menyumbang sekitar 1 juta ton CPO dari total kebutuhan Pakistan yang sebanyak 2,5 juta ton. Namun, setahun berikutnya, Indonesia hanya bisa menyumbang 750 ribu ton saja atau 30% dari total kebutuhan Pakistan. Situasi ini semakin memburuk pada tahun 2010. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO ke Pakistan hanya sebanyak 119.749 ton saja. "Saya memprediksi ekspor ke Pakistan pada tahun ini bakal turun menjadi sekitar 75.000 ton saja," ungkap Sahat kepada KONTAN, Kamis (16/6).Sahat menuturkan, Pakistan sebenarnya salah satu pasar tujuan ekspor yang sangat potensial. Bayangkan saja, kebutuhan CPO Pakistan bisa menembus 2,5 juta ton per tahunnya. Sayangnya, perdagangan CPO Indonesia-Pakistan sudah sejak lama terhambat oleh kebijakan Bea Masuk (BM) yang diskriminatif. Pakistan mengenakan BM CPO Indonesia lebih tinggi 10%-15% ketimbang Malaysia. Hal ini membuat harga CPO Indonesia kalah bersaing ketimbang CPO asal Malaysia.Kondisi itu sangat merugikan eksportir CPO Indonesia. Sahat bilang, konsumen Pakistan menjadi sangat bergantung pada pasokan CPO dari Malaysia, karena harganya lebih murah ketimbang CPO Indonesia. Mereka baru akan membeli CPO Indonesia jika pasokan CPO dari Malaysia terhambat. "CPO Indonesia hanya menjadi cadangan," keluh Sahat.Indonesia juga semakin merugi karena kebijakan diskriminatif itu dimanfaatkan oleh Malaysia. Negeri Jiran itu membeli CPO dari Indonesia untuk kemudian diekspor ke Pakistan. Sahat bilang, Malaysia melakukan itu karena produksi mereka masih kalah oleh Indonesia. Saban tahun, Malaysia baru bisa menghasilkan 18 juta ton CPO, sedangkan Indonesia sudah bisa memproduksi 22 juta ton. "Tapi kita tetap yang rugi, karena Malaysia mendapat margin yang lebih tinggi," ungkap Sahat.Sahat menyayangkan kinerja pemerintah Indonesia dalam melakukan perundingan dengan Paksitan. Problem perdagangan Indonesia-Pakistan sebenarnya sudah cukup lama. Sayangnya, pemerintah tidak jua mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Sahat bilang, kebijakan sawit Indonesia memang belum bagus karena dipegang oleh beberapa kementerian. Hal ini membuat alur penentuan kebijakan menjadi lambat karena perlu kordinasi beberapa pihak.Kondisi itu berkebalikan dengan apa yang terjadi di Malaysia. Negeri tetangga itu sangat serius dalam merumuskan kebijakan sawitnya. Mereka juga memiliki kementerian khusus yang mengurusi sawit. Efeknya, pemerintah Malaysia sangat memperjuangkan kepentingan sawitnya. Sahat mengatakan, pemerintah Indonesia harus mencontoh Malaysia, terlebih devisa dari CPO per tahunnya bisa mencapai US$ 30 Miliar. "Ini jumlah yang besar, pemerintah harus lebih serius mengurusinya," tandas Sahat.Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar, membantah pemerintah kurang serius dalam menegosiasikan penghapusan hambatan perdagangan dengan Pakistan. Pemerintah sudah menegosiasikan ini sejak tahun 2005 silam. Indonesia juga sudah menawarkan kompensasi jika Pakistan bersedia menghapus BM CPO. Misalnya, Indonesia bakal mengenakan BM 0% untuk jeruk kina asal Pakistan. Namun, pemerintah Pakistan rupa-rupanya belum bisa bisa menyepakati hal itu. "Kita sudah melakukan usaha terbaik, namun kondisi dalam negeri Pakistan sepertinya belum memungkinkan untuk bergerak lebih jauh," tandas Mahendra.Pengalihan pasar sulit dilakukanMahendra mengatakan, penghentian negosiasi itu tidak akan berimbas banyak pada ekspor CPO Indonesia. Menurutnya, pasar sawit itu tidak terbatas pada Pakistan saja, tapi bisa juga ke negara-negara lain. Hal ini membuat kinerja CPO Indonesia tidak akan terhambat baik secara jangka menengah maupun panjang. Ia menuturkan Pakistan justru akan berada di pihak yang rugi jika membatasi diri dari Indonesia. "Pada gilirannya, negara seperti itu tidak akan mendapatkan pasokan CPO yang lebih kompetitif," tutur Mahendra.Namun, Sahat memiliki pandangan lain. Menurutnya, pengalihan pasar itu masih menemui banyak kendala. Sahat bilang, negara-negara di kawasan Balkan sebenarnya sangat potensial sebagai tujuan ekspor CPO. Saban tahun kebutuhan CPO di sana ditaksir mencapai 3,5-4 juta ton.Masalahnya, eksportir Indonesia belum memiliki akses distribusi ke sana. Pemerintah Indonesia juga belum terlalu gencar melakukan promosi ke sana. "Saya melihat untuk menembus pasar Balkan akan sulit dilakukan dalam waktu dekat," tandas Sahat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Perundingan kerja sama mentok, ekspor sawit ke Pakistan bakal tergerus
JAKARTA. Kebijakan pemerintah Indonesia menghentikan perundingan kerjasama perdagangan produk tertentu atau Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Pakistan bakal berimbas pada kinerja ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke sana. Sahat Sinaga, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mengungkapkan pangsa pasar CPO Indonesia di Pakistan pada tahun ini bakal kian mengecil.Pada tahun 2008, Indonesia masih bisa menyumbang sekitar 1 juta ton CPO dari total kebutuhan Pakistan yang sebanyak 2,5 juta ton. Namun, setahun berikutnya, Indonesia hanya bisa menyumbang 750 ribu ton saja atau 30% dari total kebutuhan Pakistan. Situasi ini semakin memburuk pada tahun 2010. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO ke Pakistan hanya sebanyak 119.749 ton saja. "Saya memprediksi ekspor ke Pakistan pada tahun ini bakal turun menjadi sekitar 75.000 ton saja," ungkap Sahat kepada KONTAN, Kamis (16/6).Sahat menuturkan, Pakistan sebenarnya salah satu pasar tujuan ekspor yang sangat potensial. Bayangkan saja, kebutuhan CPO Pakistan bisa menembus 2,5 juta ton per tahunnya. Sayangnya, perdagangan CPO Indonesia-Pakistan sudah sejak lama terhambat oleh kebijakan Bea Masuk (BM) yang diskriminatif. Pakistan mengenakan BM CPO Indonesia lebih tinggi 10%-15% ketimbang Malaysia. Hal ini membuat harga CPO Indonesia kalah bersaing ketimbang CPO asal Malaysia.Kondisi itu sangat merugikan eksportir CPO Indonesia. Sahat bilang, konsumen Pakistan menjadi sangat bergantung pada pasokan CPO dari Malaysia, karena harganya lebih murah ketimbang CPO Indonesia. Mereka baru akan membeli CPO Indonesia jika pasokan CPO dari Malaysia terhambat. "CPO Indonesia hanya menjadi cadangan," keluh Sahat.Indonesia juga semakin merugi karena kebijakan diskriminatif itu dimanfaatkan oleh Malaysia. Negeri Jiran itu membeli CPO dari Indonesia untuk kemudian diekspor ke Pakistan. Sahat bilang, Malaysia melakukan itu karena produksi mereka masih kalah oleh Indonesia. Saban tahun, Malaysia baru bisa menghasilkan 18 juta ton CPO, sedangkan Indonesia sudah bisa memproduksi 22 juta ton. "Tapi kita tetap yang rugi, karena Malaysia mendapat margin yang lebih tinggi," ungkap Sahat.Sahat menyayangkan kinerja pemerintah Indonesia dalam melakukan perundingan dengan Paksitan. Problem perdagangan Indonesia-Pakistan sebenarnya sudah cukup lama. Sayangnya, pemerintah tidak jua mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Sahat bilang, kebijakan sawit Indonesia memang belum bagus karena dipegang oleh beberapa kementerian. Hal ini membuat alur penentuan kebijakan menjadi lambat karena perlu kordinasi beberapa pihak.Kondisi itu berkebalikan dengan apa yang terjadi di Malaysia. Negeri tetangga itu sangat serius dalam merumuskan kebijakan sawitnya. Mereka juga memiliki kementerian khusus yang mengurusi sawit. Efeknya, pemerintah Malaysia sangat memperjuangkan kepentingan sawitnya. Sahat mengatakan, pemerintah Indonesia harus mencontoh Malaysia, terlebih devisa dari CPO per tahunnya bisa mencapai US$ 30 Miliar. "Ini jumlah yang besar, pemerintah harus lebih serius mengurusinya," tandas Sahat.Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar, membantah pemerintah kurang serius dalam menegosiasikan penghapusan hambatan perdagangan dengan Pakistan. Pemerintah sudah menegosiasikan ini sejak tahun 2005 silam. Indonesia juga sudah menawarkan kompensasi jika Pakistan bersedia menghapus BM CPO. Misalnya, Indonesia bakal mengenakan BM 0% untuk jeruk kina asal Pakistan. Namun, pemerintah Pakistan rupa-rupanya belum bisa bisa menyepakati hal itu. "Kita sudah melakukan usaha terbaik, namun kondisi dalam negeri Pakistan sepertinya belum memungkinkan untuk bergerak lebih jauh," tandas Mahendra.Pengalihan pasar sulit dilakukanMahendra mengatakan, penghentian negosiasi itu tidak akan berimbas banyak pada ekspor CPO Indonesia. Menurutnya, pasar sawit itu tidak terbatas pada Pakistan saja, tapi bisa juga ke negara-negara lain. Hal ini membuat kinerja CPO Indonesia tidak akan terhambat baik secara jangka menengah maupun panjang. Ia menuturkan Pakistan justru akan berada di pihak yang rugi jika membatasi diri dari Indonesia. "Pada gilirannya, negara seperti itu tidak akan mendapatkan pasokan CPO yang lebih kompetitif," tutur Mahendra.Namun, Sahat memiliki pandangan lain. Menurutnya, pengalihan pasar itu masih menemui banyak kendala. Sahat bilang, negara-negara di kawasan Balkan sebenarnya sangat potensial sebagai tujuan ekspor CPO. Saban tahun kebutuhan CPO di sana ditaksir mencapai 3,5-4 juta ton.Masalahnya, eksportir Indonesia belum memiliki akses distribusi ke sana. Pemerintah Indonesia juga belum terlalu gencar melakukan promosi ke sana. "Saya melihat untuk menembus pasar Balkan akan sulit dilakukan dalam waktu dekat," tandas Sahat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News