Perundingan-Perundingan untuk Mempertahankan Kedaulatan Kemerdekaan Indonesia



KONTAN.CO.ID -  Kedaulatan atas kemerdekaan Republik Indonesia wajib dipertahankan. Beberapa saat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, penjajah masih berusaha untuk menguasai Bumi Pertiwi.  

Banyak pertempuran dan perundingan terjadi setelah Proklamasi karena Belanda ingin menguasai kembali wilayah Indonesia.

Pertempuran seperti Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, dan Bandung Lautan Api, terjadi akibat Belanda bersikeras ingin menduduki Indonesia. Karena permasalahan inilah, perundingan dan konferensi antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan. 


Bersumber dari Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, ada 5 perundingan yang digelar dalam rangka mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia (NKRI) pasca Proklamasi. 

Baca Juga: Sore Ini Ditutup, Ini Cara Finalisasi dan Cetak Kartu Peserta SNBP 2023

Mari simak perundingan yang dilaksanakan dalam rangka mempertahankan kedaulatan Indonesia di bawah ini:

Perundingan Linggarjati

Belanda masih belum mengakui kedaulatan NKRI secara de facto, meski Indonesia sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya. 

Karenanya, perundingan diadakan untuk membahas hal tersebut yang dikenal dengan Perjanjian Linggarjati. Perundingan Linggarjati dilakukan di Subang Jawa Barat pada 10-15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947. 

Pada perundingan tersebut, wakil dari Indonesia adalah Sutan Sjahrir dan wakil dari Belanda adalah Prof. Schermerhorn. Beberapa persetujuan yang dicapai di Perundingan Linggarjati adalah:

  • Belanda mengakui RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra. 
  • Dibentuknya negara negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat, dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya. 
  • Pembentukan Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.

Perundingan Renville

Belanda tetap melanggar perjanjian yang telah disetujui pada Perundingan LInggarjati dengan melakukan Agresi Militer I secara serentak pada 21 Juli 1947 di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera.

Dunia internasional mengecam tindakan Belanda yang melanggar perjanjian tersebut. PBB kemudian turun tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan masalah ini. 

Anggota dari KTN yaitu Australia sebagai wakil Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai wakil Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah  (Prof. Dr. Frank Graham).

Perundingan mengenai masalah agresi militer Belanda dilakukan di atas kapal Amerika serikat, USS Renville, pada 17 Januari 1948. Kapal USS Renville pada saat itu sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. 

Baca Juga: Kapan Pendaftaran SNBT 2023 Dibuka? Simak Jadwal Lengkap dan Syarat Daftarnya Ini

Delegasi dari Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda memilih seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua. 

  • Hasil dari perundingan Renville adalah:
  • Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS. 
  • RI memiliki kedudukan sejajar dengan Belanda. 
  • RI menjadi bagian RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS.
  • Tentara Indonesia di daerah Belanda atau daerah kantong harus dipindahkan ke wilayah RI. 

Perundingan Roem-Royen

Perundingan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI selanjutnya adalah Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini diadakan karena Belanda kembali melanggar Perjanjian Renville. 

Belanda melancarkan Agresi Militer II sehingga memaksa berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. 

Pendirian pemerintahan darurat ini di bawah komando dari Syafruddin Prawiranegara. Karena tindakan ini Belanda kembali mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional. 

Kemudian, perundingan kembali diadakan yaitu Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini digelar di Jakarta pada 7 Mei 1949. Ketua delegasi dari Indonesia adalah Mr. Moh. Roem, dan wakil dari Belanda diketuai oleh Dr. J.H Van Royen. 

Merle Cochran dari UNCI menjadi mediator dari perundingan Roem-Royen ini. Hasil dari Perundingan Roem-Royen adalah:

  • Menghentikan perang gerilya dan Indonesia-Belanda bekerja sama memelihara ketertiban dan keamanan. 
  • Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta mengikuti Konferensi Meja Bundar yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. 

Konferensi Inter-Indonesia

Konferensi Inter-Indonesia diadakan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini dihadiri oleh RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan Permusyawaratan Federal yang terdiri dari negara-negara boneka buatan Belanda. 

Perundingan ini diselenggarakan di Yogyakarta pada 19-22 Juli 1949 lalu dilanjutkan di Jakarta, 30 Juli 1949.

Hasil konferensi ini adalah negara yang dibentuk bernama RIS, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI menjadi inti APRIS.

Baca Juga: Memahami Berbagai Jenis Perjanjian Kerja di Indonesia

Konferensi Meja Bundar

Sesuai dengan hasil dari Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar (KMB) akan segera dilaksanakan. Konferensi ini diadakan di Den Haag, Belanda yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. 

Delegasi Indonesia dipimpin oleg Drs. Moh. Hatta, dan delegasi dari BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II. Hasil dari KMB tersebut diantaranya:

  • Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949. 
  • Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda. 
  • Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda. 
  • Permasalahan Irian Barat yang merupakan daerah perselisihan akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. 
Hasil perundingan tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa didapat meskipun banyak pihak yang tidak puas. Pada 27 Desember 1949, dilakukan penyerahan kedaulatan dari belanda kepada RIS.  

Belanda juga dipaksa keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan upaca pengakuan kedaulatan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil KMB.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News