KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persaingan bisnis di sektor hilir minyak dan gas (migas), khususnya yang bergerak di bidang penyaluran bahan bakar minyak (BBM) dirasa akan semakin sulit bagi pemain asing. Apalagi, ketika mereka harus bersaing dengan Pertamina, yang menurut Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) memiliki sistem monopoli yang memang difasilitasi dan didorong oleh pemerintah. "Memang sulit, lebih dari 90 persen pasar (BBM) sudah dikuasai Pertamina, jadi memang pemain-pemain dari luar akan susah mau bersaing dengan Pertamina," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal, saat dihubungi Kontan, Minggu (17/11). "Monopoli yang memang difasilitasi dan didorong oleh pemerintah, jadi mau gak mau," tambahnya. Baca Juga: 2 Penyebab Harga Tiket Pesawat Domestik Lebih Mahal Menurut Bos Garuda Ini dibuktikan dengan adanya aksi penutupan SPBU oleh Shell Indonesia, yang merupakan anak perusahaan dari Shell plc, yang berbasis di Inggris dan Wales. Terbaru, Shell menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, di tahun ini. Menurut Moshe, Pertamina memiliki kelebihan dibandingkan pesaing lainnya. Selain mendapatkan dukungan penuh pemerintah, SPBU Pertamina adalah satu-satunya SPBU yang dapat menjual BBM Subsidi. "Hanya mereka yang boleh menjual BBM Subsidi, itu salah satu kualitasnya, dan kemudian kualitas BBM Pertamina sendiri itu sudah mulai membaik dari sebelumnya," katanya. Adapun terkait pasar atau market yang ditinggalkan Shell setelah menutup 9 SPBU tersebut, menurut Moshe sangat mungkin diambil Pertamina. Apalagi distribusi BBM harus dijaga agar tetap merata. "Bisa saja (diambil Pertamina), kan harus ada yang mengisi. Kalau ada kekurangan distribusi, ya pasti harus ada yang mengisi. Bisa saja kesempatan itu diambil Pertamina," tambah Moshe. Meski begitu, dia bilang para pesaing yang akhirnya memilih menutup SPBU di dalam negeri sebenarnya masih memiliki usaha yang berhubungan dengan petrolium namun bukan BBM. "Shell dan Total kalau kita lihat kan sebenernya masih bermain juga di sektor pelumas, dan lain-lain yang berhubungan dengan petrolium tapi bukan BBM. Jadi masih ada di situ," ungkapnya. Adapun, anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH) Migas Saleh Abdurrahman mengatakan keputusan para pesaing untuk menutup sejumlah SPBU yang mereka miliki di Indonesia adalah murni perhitungan bisnis. "Kalau ada yang mundur atau tutup, itu mestinya murni hitungan bisnis," ungkap Saleh kepada Kontan, Minggu (17/11). Menurutnya persaingan usaha di hilir migas masih terbuka lebar, dibuktikan masih adanya perusahaan swasta yang ikut ambil bagian. "Kalau disisi hilir, pasarnya memang terbuka dan kompetitif, saat ini selain Pertamina, masih ada beberapa badan usaha swasta yang beroperasi," tambahnya. Untuk diketahui, dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia telah banyak perusahaan minyak dan gas multinasional asing yang masuk dalam sektor bisnis SPBU. Sebut saja Petronas, perusahaan minyak dan gas milik pemerintah Malaysia itu sempat masuk ke Indonesia dan mendirikan SPBU pertamanya tahun 2006 di Jakarta Timur. Namun, karena penjualan yang terus menurun hingga tidak dapat memenuhi kewajiban operasional, akhirnya pada 2013, Petronas memutuskan untuk menutup 19 SPBU yang mereka miliki. Namun 9 dari 19 SPBU itu pun diakuisisi oleh PT Pertamina (Persero). Ada pula, PT Total Oil Indonesia yang merupakan unit bisnis dari TotalEnergies SE, sebuah perusahaan minyak dan gas multinasional terintegrasi asal Prancis. Total Indonesia akhirnya memutuskan menutup semua SPBU yang mereka miliki di Indonesia secara bertahap, terhitung mulai 2020 hingga 2021 lalu. Sejak membuka SPBU pertama di tahun 2009, Total Indonesia tadinya memiliki total 18 SPBU yang sebagain besar berada di daerah Jabodetabek dan Bandung. Berdasarkan catatan Kontan, keputusan ini diambil karena dianggap selaras dengan strategi Total secara global. Terbaru, Shell Indonesia menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, di tahun ini. Vice President Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea mengatakan, langkah ini dilakukan sesuai dengan strategi Shell secara global untuk menciptakan nilai lebih dengan emisi yang lebih rendah (more value with less emissions) melalui pengembangan solusi energi rendah karbon dan berfokus pada disiplin, penyederhanaan serta kinerja bisnis. "Shell akan menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, tahun ini," kata Susi kepada Kontan, Rabu (17/4). Adapun, Shell akan fokus pada pertumbuhan pasar di sektor bisnis pelumas. Ditandai dengan dimulainya pembangunan Pabrik Manufaktur Gemuk atau Grease Manufacturing Plant di Marunda dengan kapasitas total mencapai 12 kiloton per tahun pada Maret 2024 lalu. Sebelumnya, pada November 2022, Shell Indonesia juga telah menggandakan kapasitas pabrik pelumas Shell di Marunda (Lubricants Oil Blending Plant) menjadi 300 juta liter per tahun. Baca Juga: Upaya Transformasi Branding dan Marketing BUMN Mendongkrak Daya Saing Global
Perusahaan Asing Sulit Berkembang dalam Bisnis SPBU di Indonesia, Ini Penyebabnya
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persaingan bisnis di sektor hilir minyak dan gas (migas), khususnya yang bergerak di bidang penyaluran bahan bakar minyak (BBM) dirasa akan semakin sulit bagi pemain asing. Apalagi, ketika mereka harus bersaing dengan Pertamina, yang menurut Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) memiliki sistem monopoli yang memang difasilitasi dan didorong oleh pemerintah. "Memang sulit, lebih dari 90 persen pasar (BBM) sudah dikuasai Pertamina, jadi memang pemain-pemain dari luar akan susah mau bersaing dengan Pertamina," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal, saat dihubungi Kontan, Minggu (17/11). "Monopoli yang memang difasilitasi dan didorong oleh pemerintah, jadi mau gak mau," tambahnya. Baca Juga: 2 Penyebab Harga Tiket Pesawat Domestik Lebih Mahal Menurut Bos Garuda Ini dibuktikan dengan adanya aksi penutupan SPBU oleh Shell Indonesia, yang merupakan anak perusahaan dari Shell plc, yang berbasis di Inggris dan Wales. Terbaru, Shell menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, di tahun ini. Menurut Moshe, Pertamina memiliki kelebihan dibandingkan pesaing lainnya. Selain mendapatkan dukungan penuh pemerintah, SPBU Pertamina adalah satu-satunya SPBU yang dapat menjual BBM Subsidi. "Hanya mereka yang boleh menjual BBM Subsidi, itu salah satu kualitasnya, dan kemudian kualitas BBM Pertamina sendiri itu sudah mulai membaik dari sebelumnya," katanya. Adapun terkait pasar atau market yang ditinggalkan Shell setelah menutup 9 SPBU tersebut, menurut Moshe sangat mungkin diambil Pertamina. Apalagi distribusi BBM harus dijaga agar tetap merata. "Bisa saja (diambil Pertamina), kan harus ada yang mengisi. Kalau ada kekurangan distribusi, ya pasti harus ada yang mengisi. Bisa saja kesempatan itu diambil Pertamina," tambah Moshe. Meski begitu, dia bilang para pesaing yang akhirnya memilih menutup SPBU di dalam negeri sebenarnya masih memiliki usaha yang berhubungan dengan petrolium namun bukan BBM. "Shell dan Total kalau kita lihat kan sebenernya masih bermain juga di sektor pelumas, dan lain-lain yang berhubungan dengan petrolium tapi bukan BBM. Jadi masih ada di situ," ungkapnya. Adapun, anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH) Migas Saleh Abdurrahman mengatakan keputusan para pesaing untuk menutup sejumlah SPBU yang mereka miliki di Indonesia adalah murni perhitungan bisnis. "Kalau ada yang mundur atau tutup, itu mestinya murni hitungan bisnis," ungkap Saleh kepada Kontan, Minggu (17/11). Menurutnya persaingan usaha di hilir migas masih terbuka lebar, dibuktikan masih adanya perusahaan swasta yang ikut ambil bagian. "Kalau disisi hilir, pasarnya memang terbuka dan kompetitif, saat ini selain Pertamina, masih ada beberapa badan usaha swasta yang beroperasi," tambahnya. Untuk diketahui, dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia telah banyak perusahaan minyak dan gas multinasional asing yang masuk dalam sektor bisnis SPBU. Sebut saja Petronas, perusahaan minyak dan gas milik pemerintah Malaysia itu sempat masuk ke Indonesia dan mendirikan SPBU pertamanya tahun 2006 di Jakarta Timur. Namun, karena penjualan yang terus menurun hingga tidak dapat memenuhi kewajiban operasional, akhirnya pada 2013, Petronas memutuskan untuk menutup 19 SPBU yang mereka miliki. Namun 9 dari 19 SPBU itu pun diakuisisi oleh PT Pertamina (Persero). Ada pula, PT Total Oil Indonesia yang merupakan unit bisnis dari TotalEnergies SE, sebuah perusahaan minyak dan gas multinasional terintegrasi asal Prancis. Total Indonesia akhirnya memutuskan menutup semua SPBU yang mereka miliki di Indonesia secara bertahap, terhitung mulai 2020 hingga 2021 lalu. Sejak membuka SPBU pertama di tahun 2009, Total Indonesia tadinya memiliki total 18 SPBU yang sebagain besar berada di daerah Jabodetabek dan Bandung. Berdasarkan catatan Kontan, keputusan ini diambil karena dianggap selaras dengan strategi Total secara global. Terbaru, Shell Indonesia menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, di tahun ini. Vice President Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea mengatakan, langkah ini dilakukan sesuai dengan strategi Shell secara global untuk menciptakan nilai lebih dengan emisi yang lebih rendah (more value with less emissions) melalui pengembangan solusi energi rendah karbon dan berfokus pada disiplin, penyederhanaan serta kinerja bisnis. "Shell akan menghentikan kegiatan operasi 9 (sembilan) SPBU di Medan, Sumatra Utara, tahun ini," kata Susi kepada Kontan, Rabu (17/4). Adapun, Shell akan fokus pada pertumbuhan pasar di sektor bisnis pelumas. Ditandai dengan dimulainya pembangunan Pabrik Manufaktur Gemuk atau Grease Manufacturing Plant di Marunda dengan kapasitas total mencapai 12 kiloton per tahun pada Maret 2024 lalu. Sebelumnya, pada November 2022, Shell Indonesia juga telah menggandakan kapasitas pabrik pelumas Shell di Marunda (Lubricants Oil Blending Plant) menjadi 300 juta liter per tahun. Baca Juga: Upaya Transformasi Branding dan Marketing BUMN Mendongkrak Daya Saing Global