KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan asuransi masih dihadapkan isu-isu terkait klaim nasabah mangkrak atau tidak dibayarkan. Misalnya, PT Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) yang belum lama ini menghadapi tuduhan tidak membayarkan klaim nasabahnya hingga Rp 20 miliar per Oktober 2024, menurut akun Tiktok
@anti.fraud.insurance.new yang viral. Tuduhan ini mencakup pembayaran klaim kematian yang hanya dibayarkan sebesar 10%-50% dari nilai polis, seperti yang terjadi di Medan.
Baca Juga: AAJI Beberkan Kelebihan Produk Endowment di Asuransi Jiwa Menanggapi hal tersebut, Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai, isu-isu gagal bayar klaim nasabah asuransi masih sering bermunculan karena perusahaan
asuransi kerap kali tidak menjelaskan secara detail terkait prinsip-prinsip dan persyaratan klaim, atau hal-hal yang dapat menyebabkan klaim ditolak. Menurut dia, yang sering terjadi adalah perusahaan asuransi menduga nasabah
beritikad tidak baik dan tidak menjalankan prinsip Utmost Good Faith, yaitu dengan jujur alias tidak mengungkap fakta-fakta material yang dapat mempengaruhi
sikap
under writer menerima atau menolak permintaan asuransi. Hal ini diatur dalam pasal 251 KUH Dagang. “Pasal 251 KUHD dapat menjadi pelindung bagi tertanggung yang jujur, karena mengurangi risiko klaim palsu. Namun, pasal ini juga dapat dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi untuk menghindari tanggung jawab pembayaran klaim,” kata Irvan kepada Kontan.co.id, Selasa (5/11). Dengan begitu, Irvan menilai bahwa Pasal 251 KUHD bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, pasal ini melindungi perusahaan asuransi dari klaim yang tidak sah, namun di sisi lain, dinilai bisa dimanfaatkan untuk menolak klaim ahli waris yang seharusnya berhak. “Jadi yang harus dilakukan perusahaan asuransi yakni dari awal menjelaskan secara rinci terkait konsekuensi klaim bisa ditolak kepada nasabah. Bukan sengaja
membiarkan nasabah baru menyadari setelah terjadi klaim,” ungkapnya. Dengan masih maraknya permasalahan tersebut, Irvan menilai industri asuransi Indonesia ke depannya akan menghadapi tantangan serius yaitu, rendahnya kepercayaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah pengaduan terkait asuransi dalam lima tahun terakhir.
Baca Juga: Ini Kata AAJI Terkait Pergeseran Minat Masyarakat dari Unitlink ke Produk Endowment “Pengaduan asuransi itu meningkat sebanyak 57 kali lipat dalam lima tahun terakhir dari hanya 22 pengaduan terkait asuransi menjadi 1.291 di tahun 2022 lalu, dan di tahun ini lebih tinggi lagi,” kata Irvan. Dia mengatakan bahwa hal tersebut menandakan betapa kita menghadapi masalah yang sangat serius dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Irvan juga mengungkapkan industri asuransi Indonesia memiliki terlalu banyak pemain, sehingga membuat persaingan menjadi tidak sehat dan berdampak pada kualitas produk dan layanan asuransi.
Tanggapan Prudential Indonesia Sebelumnya, Chief Customer & Marketing Officer Prudential Indonesia Karin Zulkarnaen sudah menanggapi terkait tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa pembayaran klaim telah dilakukan sesuai prinsip
utmost good faith atau asas itikad baik. Prinsip ini mengharuskan nasabah memberikan informasi lengkap terkait kondisi kesehatan dan risiko. Menurutnya, Prudential tidak membayar klaim penuh pada beberapa kasus karena ada ketidaksesuaian informasi dari pihak nasabah, termasuk riwayat kesehatan yang tidak diungkapkan.
Baca Juga: Lini Kendaraan Sejumlah Perusahaan Asuransi Catat Kinerja Positif “Jadi apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian data setelah polis disepakati, maka penilaian risiko akan dilakukan ulang dan penjaminan risiko akan disesuaikan berdasarkan data yang ditemukan," ungkap Karin kepada Kontan.co.id beberapa hari yang lalu. Karin menegaskan bahwa Prudential Indonesia telah membayarkan lebih dari 1,6 juta klaim senilai Rp 17 triliun pada tahun 2023, dan 700 ribu klaim senilai Rp 8,6 triliun hingga Semester 1 tahun 2024, sebagai bukti komitmen perusahaan terhadap kewajiban klaim sesuai ketentuan polis.
Dia juga menyarankan agar nasabah menyampaikan keluhan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK), sesuai mekanisme OJK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .