Perusahaan batubara minta PP Stabilisasi Investasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) kelihatannya iri kepada pemerintah atas akan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai stabilitas investasi atau kepastian pajak yang dibuat hanya untuk PT Freeport Indonesia (PTFI).

Pasalnya, secara prinsip sama dengan Kontrak Karya (KK) yang akan merubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemegang PKP2B juga membutuhkan aturan yang dapat menjamin stabilisasi investasi khususnya pasca berakhirnya PKP2B yang akan di konversi jadi IUPK.

Karena asal tahu saja, saat ini, pemerintah tengah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak bagi Pertambangan Mineral.


Ada enam pihak yang diatur dalam aturan tersebut. Yakni pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral, IUP Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Mineral, Kontrak Karya (KK), pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral, perpanjangan dari pemegang KK yang berakhir sebagai kelanjutan operasi, serta pemegang KK Mineral yang belum berakhir kontraknya dan berubah bentuk menjadi IUPK Mineral.

Sementara aturan itu tidak berkaitan dengan kepastian pajak PKP2B.

"PKP2B juga membutuhkan aturan yang dapat menjamin stabilisasi investasi khususnya pasca berakhirnya kontrak," terang Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia kepada Kontan.co.id, Rabu (4/10).

Hendra bilang, dalam Undang-Undang No. 04/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ada tambahan pungutan pajak 10% bagi pemegang IUPK. Sehingga perlu kejelasan juga bagi pemegang PKP2B yang kontraknya akan berakhir dan menjadi IUPK.

Adapun saat ini perusahaan PKP2B berjumlah 73 lebih banyak dibanding Kontrak Karya yang hanya 34. "Secara prinsip tentu akan lebih bagus jika kewajiban perpajakan di atur untuk jangka panjang dengan juga memperhatikan kepentingan negara," ungkapnya.

Seperti diketahui pungutan 10% pajak itu masuk ke dalam RPP yang sedang dibuat untuk Freeport itu. Rinciannya, 4% untuk Pemerintah Pusat dan 6% untuk Pemerintah Daerah. Itu dikenakan melalui laba bersih perusahaan.

Untuk Freeport

Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi mengatakan harusnya pemerintah membuat aturan pertambangan yang jelas secara keseluruhan untuk pertambangan baik mineral ataupun batubara.

"Jadi memang PP yang saat ini sedang dibuat itu lebih untuk mengadopsi kepentingan Freeport yang diajukan pada saat perundingan," terangnya kepada KONTAN, Rabu (4/10).

Dia pun menilai, berdasarkan draft PP tersebut, memang ada jenis pajak yang turun, namun ada juga jenis pajak lain yang naik. Secara keseluruhan penerimaan negara dari pajak Freeport harus lebih besar saat menggunakan IUPK dibanding saat Kontrak Karya.

"Kalau tidak terjadi kenaikan penerimaan negara berarti draft PP itu bertentangan dengan kesepakatan antara pemerintah dan Freeport," tandasnya.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W Yudha enggan berkomentar lebih banyak. Yang penting, setelah perusahan atau Kontrak Karya ditetapkan statusnya menjadi IUPK. Sepatutnya memakai prevailling law. "Maksudnya tergantunf hukum pajak yang berlaku. Adakalanya nanti penerimaan negara akan naik," tandasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia