Perusahaan pengemasan jangan banyak utang ke perbankan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Kemasan Indonesia alias Indonesian Packaging Federation Ariana Susanti menyarankan agar perusahaan pengemasan tak melulu mengandalkan kredit perbankan.

Ariana beralasan, sejatinya bisnis pengemasan punya profit margin yang kecil, sementara kredit perbankan acap kali  dengan bunga yang cukup besar.

"Profit margin bisnis ini kecil, pasti di bawah 5%, sementara bunga bank kan besar, belum lagi sekarang banyak aturan yang juga turut menghambat sebenarnya, soal cukai plastik, atau regulasi yang berbeda-beda di tiap daerah," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/7).


Ia menyarankan agar perusahaan pengemasan tak mengandalkan lebih dari 50% atas kebutuhan dananya kepada perbankan. "Kalau sampai 100%, atau bahkan di atas 50% saja pasti akan bermasalah," lanjutnya.

Dalam beberapa perkara niaga yang dialami oleh perusahaan pengemasan, tagihan perbankan memang jadi yang gemuk

PT Starlight Prime Thermoplast yang jatuh pailit pada 21 April 2017 lalu misalnya. Dari total tagihan senilai Rp Rp 250 miliar, Bank BNI jadi pemilik tagihan terbesar dengan nilai Rp 196 miliar.

Ada pula PT Namasindo Plas yang juga sempat tersandung perkara PKPU. Meski PKPU Namasindo berakhir damai, tagihan terbesar Namasindo juga dipegang perbankan. Bank BNI jadi kreditur dengan nilai Rp 1,64 triliun dari total tagihan Namasindo senilai Rp 4,07 triliun.

Lebih parah PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo Tbk (DAJK) yang telah pailit 22 November 2017, dengan total tagihan senilai Rp 1,15 triliun. Seluruhnya berasal dari perbankan.

Rinciannya, tagihan di Bank Mandiri senilai Rp 490,19 miliar, Standard Chartered Bank (SCB) Singapura senilai Rp 261,48 miliar, SCB Jakarta senilai Rp 100,67 miliar, Bank Danamon senilai Rp 12,05 miliar, Citibank senilai Rp 32,23 miliar, Commonwealth Bank senilai Rp 53,31 miliar, dan BRI Syariah senilai Rp 185,16 miliar.

Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono tak sepenuhnya sepakat jika kredit perbankan jadi sumber utama perusahaan pengemasan bermasalah.

"Sebenarnya tidak selalu demikian, saya sendiri melihat beberapa perusahaan yang pailit memang karena kesalahan manajemen," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/7).

Ia sendiri optimistis industri pengemasan masih punya potensi besar tahun ini. Sebab, sektor bisnis ini sangat bergantung atas pertumbuhan industri makan dan minuman dalam kemasan.

Ariana sendiri setuju soal ini. Ia memperkirakan pada 2018, industri pengemasan bisa tumbuh hingga 6%. Meskipun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya asumsi tersebut terbilang kecil.

"Sejak 2015 mungkin agak terjadi perlambatan, 2014 itu kita masih bisa tumbuh 8%-10%, tapi tahun ini mungkin prediksinya hanya sampai 6%. Sementara hinga Juni nilai industri ini diperkirakan hampir mendekati Rp 90 triliun," lanjut Ariana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto