KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan
switching mulai menakar dampak yang akan ditimbulkan atas rencana Bank Indonesia (BI) menurunkan biaya transfer interbank dari sebelumnya sebesar Rp 6.500 menjadi Rp 3.500. “Saya belum bisa komentar soal ini, karena mesti mempelajari dampaknya dulu,” kata Armand Widjaja, CEO PT Alto Network, pengelola jaringan ATM Alto. Meski demikian, Armand turut mendukung ikhtiar bank sentral guna meningkatkan sistem keuangan nasional.
Upaya menurunkan biaya transfer interbank ini dilakukan BI dalam rangka mewujudkan platform keuangan bertajuk BI Fast Payment. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem pembayaran BI Filianingsih Hendarta sebelumnya bilang, BI Fast Payment diharapkan bisa menyediakan layanan
realtime, non-stop dan berbiaya murah. Sementara Bayu Hanantasena, Direktur Utama PT Artajasa Pembayaran Elektronis yang merupakan pengelola ATM Bersama menyatakan, rencana BI tersebut memang pasti akan berdampak pendapatan. “Namun hal tersebut akan bergantung terhadap beberapa hal, misalnya seberapa elastisitas trafik, apakah dengan biaya yang ditrunkan, akan terjadi kenaikan trafik?” katanya. Lagipula ia menambahkan, komisi yang didapatkan perusahaan
switching atas biaya transfer sejatinya paling kecil dibandingkan bank pengirim (pemilik ATM), maupun bank tujuan. Apalagi dari rata-rata perusahaan
switching Indonesia telah mengandalkan teknologi Base 24 yang dengan biaya mahal. Sehingga hal penurunan biaya transfer memang akan berdampak terhadap pendapatan perseroan. “Kami sudah pakai Base 24, teknologi ini lebih handal untuk melakukan transaksi besar,” tambah Bayu. Rudy Ramli, salah satu pemegang saham Alto menjelaskan, dari Rp 6.500 biaya transfer interbank, Rp 3.500 diberikan kepada bank pemilik ATM, sementara perusahaan
switching dan bank penerima masing-masing mendapatkan Rp 1.500. Meski demikian ia bilang, dengan perkembangan perbankan digital, biaya transfer interbank memang sejatinya bisa lebih murah.
“Transfer interbank itu kami (Alto) yang memulai pada 1996 kemudian diikuti perusahaan
switching lain. Pemilik ATM dapat paling besar karena beli mesin ATM itu mahal, tapi saat ini kan transfer sudah bisa melaui ponsel, mobile banking. Itu kan tidak menggunakan ATM,” kata Rudy saat ditemui KONTAN di Jakarta. Sebelumnya, Hermawan Tjandra, Executive Vice President PT Rintis Sejahtera pengelola jaringan pembayaran Prima menyatakan para perusahaan
switching sendiri sejatinya belum mengathui konsep detil BI Fast Payment. “Kami dari industri baru mendengar rencana tersebut secara umum dalam seminar digital yang dilakukan BI. Terutama perihal rencana layanan sejenis FAST payment oleh BI dan peran BI sebagai regulator dan operator untuk hal tersebut,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat