KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran layanan BI Fast yang diinisiasi Bank Indonesia beberapa tahun terakhir kian diminati masyarakat. Bagaimana tidak, layanan transfer antar bank dipatok dengan harga relatif murah sebesar Rp 2.500 per transaksi. Data BI mencatat, volume transaksi BI Fast per kuartal II-2024 tumbuh 67,79% secara tahunan (YoY) dengan jumlah mencapai 785,95 juta transaksi. Di sisi lain, hal tersebut menjadi tantangan berat bagi perusahaan
switching yang selama ini menyediakan layanan transfer antar bank. Mengingat, tarif yang dipatok perusahaan switching untuk transfer antar bank saat ini sebesar Rp 6.500 per transaksi.
Baca Juga: Transaksi BI-Fast Makin Kencang, BI: Bisnis Perusahaan Switching Tidak akan Mati CEO PT Alto Network Gretel Griselda pun secara blak-blakan mengungkapkan bahwa kehadiran BI Fast ini berdampak pada transaksi layanan transfer yang disediakan oleh Alto. Alhasil, terjadi penurunan transaksi. “Saya tidak bisa sebut angkanya tapi penurunannya memang sangat signifikan,” ujar Gretel saat ditemui Kontan, Jumat (9/8). Gretel bercerita bahwa hal tersebut sempat menjadi ketakutan tersendiri ketika hadirnya BI Fast ini. Namun, ia menyadari bahwa ini menjadi momen bagi perusahaan untuk berinovasi dalam hal lain. Ambil contoh, ia melihat peluang adanya beberapa bank yang tidak bisa langsung terhubung dengan layanan BI Fast. Alhasil, Alto memberikan layanan bagi bank sebagai penyediaan Connector ke ekosistem BI-Fast dari Bank Indonesia. Tak hanya itu, Gretel juga menyebutkan pihaknya semakin memperluas
managed service yang diberikan. Di mana, hal tersebut tetap membuat Alto bisa meraih profit. “Transaksi
switching di Alto sendiri untuk QRIS, transfer, ATM di Juli saja sudah mencapai 1 miliar transaksi kalau
value-nya capai Rp 58 triliun,” jelas Gretel. Gretel tak menutup kemungkinan peluang penurunan harga layanan transfer untuk saat ini. Tentu, hal tersebut berdiskusi dengan Bank Indonesia serta pemain lainnya. Sementara itu, Direktur Bisnis PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama) Heru Perwito mengungkapkan bahwa pihaknya secara prinsip saling mendukung dan saling melengkapi dalam mendukung ekonomi keuangan digital sebagaimana yang dicanangkan oleh BI. “Contoh dengan memberikan alternatif transaksi pembayaran kepada industri. Masalah bagus atau tidaknya ini relatif,” ujarnya. Sama dengan Alto, Artajasa juga memiliki layanan Bersama Interface Processor (BIP) sebagai solusi infrastruktur bagi institusi keuangan yang ingin terkoneksi dengan layanan BI Fast. Menurutnya bisnis switching tidak akan ditinggalkan, namun ini justru menjadi kesempatan atau momentum kolaborasi antara regulator dan industri sistem pembayaran. Masalah tarif, Heru melihat hal tersebut bakal diserahkan kepada mekanisme pasar saja. Artinya, peluang adanya penurunan tarif dari Rp 6.500 juga terbuka lebar. “Tapi masalah tarif ini banyak yang perlu diperhatikan serta pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa saat ini ATM masih menjadi layanan yang mendominasi transaksi di Artajasa. Meski, pihaknya tidak memungkiri adanya digitalisasi membuat penggunaan mesin ATM bisa jadi akan menurun. Dalam hal ini, Heru berpandangan masyarakat Indonesia masih membutuhkan mesin ATM untuk melakukan tarik tunai. “Kami memiliki keyakinan transaksi masih akan tumbuh di angka 10%-15% hingga akhir tahun 2024,” tambahnya. Sebelumnya, Kepala DKSP BI Dicky Kartikoyono mengungkapkan semakin diminatinya BI Fast tidak serta-merta mematikan bisnis yang juga dijalani oleh perusahaan switching. Menurutnya, selama ini layanan transfer yang diberikan perusahaan switching juga menjadi pilihan bagi nasabah "Semisal kalau di BI Fast sedang ada masalah, nasabah masih bisa transfer melalui layanan dari perusahaan switching," ujarnya.
Baca Juga: Bank Indonesia Resmi Meluncurkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030 Lebih lanjut, Dicky juga mengungkapkan bahwa ke depan pihaknya juga akan menggandeng perusahaan
switching untuk penguatan infrastruktur dari layanan transfer ini. Harapannya, kualitas yang diberikan pun bisa sama dengan potensi yang sejatinya masih besar. Ia mencontohkan BI Fast bisa lebih diarahkan untuk transaksi-transaksi
cross border, sementara perusahaan
switching bisa menjangkau pelaku-pelaku ekonomi lain seperti BPR yang kini boleh bikin sistem. Selain itu, ia juga bilang selalu mengajak diskusi terkait kebijakan pricing yang diberikan oleh perusahaan
switching. Terutama, mengajak perusahaan industri melihat potensi dan ekosistem yang sudah terbentuk.
“Kalau misalnya memang bisa dikatakan
size-nya besar, kenapa harus harga yang lebih tinggi? Kalikan dengan volumenya, enggak usah dengan nominalnya," ujar Dicky. Namun, ia tentu mempersilakan perusahaan
switching untuk menentukan harganya sendiri tanpa dipaksa. Sebab, perusahaan
switching tentu sudah memiliki hitungan sendiri sesuai dengan nilai investasinya. "Prinsipnya, kita ingin ini semua mudah dan dipakai oleh masyarakat. Kalau harganya murah kan pasti dipakai," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi