Perusahaan Tambang Mineral dan Batubara Pacu Ekspansi Berbasis Hijau



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha tambang mineral dan batubara (minerba) telah menyusun ekspansi bisnis berbasis hijau untuk beradaptasi pada transisi energi dan mendukung pemerintah Indonesia mencapai target Net Zero Emission (nol emisi karbon) pada 2060. 

Pada pertambangan mineral timah, PT Timah Tbk (TINS) sebagai Perusahaan pertambangan dengan fasilitas produksi yang terintegrasi akan menggelar ekspansi peningkatan volume produksi logam di 2023. TINS akan mengoperasikan fasilitas peleburan biji timah berteknologi Top Submerged Lance (TSL) Ausmelt di Muntok. 

Dengan beroperasinya TSL Ausmelt Furnace juga menjadi babak baru dalam sejarah peleburan PT Timah. Proyek strategis di Holding Industri Pertambangan MIND ID ini sebagai satu upaya Timah melaksanakan transformasi teknologi peleburan. 


Baca Juga: Menakar Dampak Larangan Ekspor Bauksit Terhadap Kinerja Aneka Tambang (ANTM)

Tujuan transformasi teknologi pengolahan ini untuk optimalisasi teknologi, peningkatan kapasitas, efisiensi produksi dan keselamatan serta kesehatan lingkungan.

Abdullah Umar Baswedan, Sekretaris Perusahaan Timah menjelaskan di tahun depan pihaknya optimistis kinerja bisa tumbuh sejalan dengan meningkatnya produksi. 

“Meskipun tekanan adanya krisis global masih berlanjut akibat kenaikan inflasi dan suku bunga global, kondisi geopolitik global serta melambatnya pertumbuhan ekonomi global kami berusahaan mempertahankan kinerja untuk tetap tumbuh,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (25/12). 

Abdullah mengatakan, ada beberapa strategi yang dilakukan untuk menangkap peluang tersebut yakni  peningkatan produksi, efisiensi di segala lini termasuk efisiensi proses peleburan dengan aktifnya TSL Ausmelt serta peningkatan kinerja dan kontribusi dari anak perusahaan. 

Pembangunan TSL Ausmelt Furnace sendiri adalah strategi PT Timah untuk menjawab tantangan yang dihadapi industri pertambangan timah saat ini, khususnya dalam memaksimalkan konsentrat timah kadar rendah. 

Direktur Utama Timah,  Achmad Ardianto menyatakan, saat ini TSL Ausmelt Furnace sudah menyelesaikan tahapan hot commisioning. Setelah sebelumnya beberapa tahapan sudah dilakukan hingga nantinya digunakan secara penuh. 

Dengan TSL Ausmelt Furnace, diharapkan mampu mengolah konsentrat bijih timah dengan kadar rendah mulai dari 40% Sn, dengan kapasitas produksi 40.000 ton crude tin per tahun atau 35.000 metrik ton ingot per tahun. 

Untuk tahun pertama, kapasitas prorduksi TSL Ausmelt Furnace baru akan  digunakan 50%. Meski baru separuhnya, produksi ini sudah memenuhi 65% dari rencana produksi tahun depan. 

Lantaran baru beroperasi 50%, PT Timah masih mengoptimalkan tanur reverbratory furnace yang dimiliki perusahaan. Setelah Hot Commissioning dan berhasil menghasilkan logam timah berkadar 99%, berikutnya akan disegerakan untuk production rump Up dan performance test

Achmad memaparkan, tujuan utama ausmelt dibuat mendapatkan proses peleburan yang efisien dengan teknologi terkini. Sehingga pihaknya bisa menekan biaya peleburan timah dan mendapatkan recovery lebih baik dengan feed yang berbeda karakteristik. 

Baca Juga: Sukseskan Hilirisasi Mineral, Perhapi: Pemerintah Perlu Bangun Industri Lanjutan

TINS kata dia tetap optimis menghadapi tahun 2023, meski kondisi pasar global masih dihantui ketidakpastian, namun timah sebagai salah satu bahan baku produk elektronik masih dibutuhkan. 

Dalam kegiatan operasionalnya PT Timah menggunakan beberapa sumber energi meliputi BBM jenis Biodiesel (B30) dan MFO (Marine Fuel Oil) serta listrik. BBM digunakan untuk mendukung kegiatan penambangan dan transportasi, sedangkan energi listrik digunakan untuk proses peleburan dan penerangan.

Walau masih dalam skala kecil, TINS sudah mulai memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) tenaga surya atau solar cell yang berlokasi di Kampong Reklamasi Selinsing, Belitung Timur. Perseroan juga sudah memanfaatkan B30 pada beberapa instrumen peralatan pendukung di wilayah operasionalnya.

Di Industri nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) berkomitmen untuk  tidak lagi mengalirkan listrik hasil pembakaran batubara ke smelter barunya.  Vale memilih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang menghasilkan emisi yang lebih rendah. 

Konsorsium INCO, TISCO dan Shandong Xinhai Technology berencana membangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dengan kapasitas 500 megawatt (MW). Nantinya, PLTG ini digunakan untuk melistriki proyek smelter di Bahodopi, Sulawesi Tengah. 

Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, pembangunan PLTG tersebut akan dipimpin oleh mitra perusahaan dalam proyek smelter Bahodopi. Dari hasil studi kelayakan yang dilakukan INCO, total kebutuhan LNG diperkirakan mencapai 22 juta ton MMBTU pertahun untuk menyalakan PLTG berkapasitas 500 MW. 

Bernardus mengungkapkan sumber LNG masih dalam proses pencarian baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

“Kami saat ini melakukan komunikasi dan diskusi dengan beberapa calon supplier,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/12). 

Bernardus menegaskan, sebisa mungkin INCO ingin mendapatkan pasokan LNG dari dalam negeri. Namun, pihaknya juga harus mengantisipasi seandainya pasokan dalam negeri tidak bisa didapatkan dalam waktu tertentu dan volume yang dibutuhkan. 

Baca Juga: Kemenperin Terus Mendorong Hilirisasi Berbagai Sektor Industri Dalam Negeri

Setelah melakukan penandatanganan Perjanjian Investasi Blok Bahodopi antara PT Vale Indonesia, TISCO dan Shandong Xinhai Technology pada September 2022 lalu, Bernardus mengatakan, perkembangan proyek bahodopi saat ini sudah mulai berjalan. 

Pekerjaan pabrik dan pembangunan tambang sudah dilakukan. Kontraktor EPC untuk pembangunan tambang sudah ditunjuk dan akan segera memulai pekerjaan. 

“Untuk pabrik, kegiatan site leveling dan konstruksi infrastruktur pendukung seperti dormitory juga sedang berlangsung,” ujarnya. 

Smelter dengan biaya investasi senilai US$ 2,1 miliar ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), maka ada harapan untuk kelancaran pelaksanaan proyek termasuk dukungan dari pemerintah.

Smelter Bahodopi akan menggunakan teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) dalam proses pengolahannya. Kapasitas produksinya direncanakan sebesar 73.000 hingga 80.000 metrik ton nikel per tahun. Proyek ini diharapkan dapat rampung pada akhir tahun 2025 mendatang.

Perihal prospek bisnis di 2023, Bernardus mengatakan tahun 2023  merupakan tahun yang menantang untuk INCO. Pihaknya sudah bisa beroperasi kembali dengan 4 furnace di tahun 2023 setelah selesainya pembangunan ulang furnace 4. 

Vale Indonesia juga akan memulai investasi dan mengeluarkan belanja modal dengan jumlah besar untuk proyek Bahodopi dan Pomalaa. Semuanya itu memerlukan kerja keras dan komitmen, sekaligus juga dukungan dari pemangku kepentingan.

“Untuk mendukung agenda pertumbuhan, operasi kami di Sorowako akan menjadi tulang punggung dan peningkatan produktivitas secara berkelanjutan perlu didorong,” ujarnya. 

Vale menegaskan, pihaknya tetap memfokuskan pada keselamatan dan kesehatan kerja, selain juga komitmen mendorong agenda keberlanjutan seperti dekarbonisasi. 

Untuk perusahaan tambang batubara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menyiapkan  langkah-langkah untuk mewujudkan visi menjadi perusahaan energi dan kimia yang peduli lingkungan.

Transformasi ini dilakukan untuk mendukung target Net Zero Emission di 2060, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Perusahaan juga berupaya meningkatkan kontribusi dalam mendukung ketahanan energi nasional.

Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail menyatakan, PTBA memiliki tiga strategi khusus untuk mewujudkan cita-cita tersebut. 

Pertama, peningkatan portofolio pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). PTBA sejauh ini telah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Bandara Soekarno-Hatta bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero).

Selain dengan Angkasa Pura II, PTBA juga bekerja sama dengan Jasa Marga Group untuk pengembangan PLTS di jalan-jalan tol. Kemudian baru-baru ini, PTBA menjajaki potensi kerja sama pengembangan PLTS di lokasi operasional Semen Indonesia Group (SIG).

"PTBA mengantisipasi bahwa ke depan EBT akan semakin dapat bersaing dengan energi fosil. Seiring dengan perkembangan teknologi, EBT akan semakin efisien. Maka diversifikasi bisnis dilakukan PTBA," ujarnya beberapa waktu lalu. 

Baca Juga: Larangan Ekspor Mineral Pacu Kinerja Emiten Pertambangan

Strategi kedua yaitu hilirisasi batu bara dan pengembangan industri kimia dengan menyiapkan kawasan ekonomi khusus di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, sebagai area untuk pengembangan bisnis.

Hilirisasi yang dilakukan PTBA yaitu proyek Coal to DME (Dimethyl Ether) sebagai bentuk komitmen perusahaan atas terbitnya Perpres Nomor 109 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 17 November 2020 oleh Presiden Joko Widodo.

"Ini merupakan portofolio baru bagi perusahaan yang tidak lagi sekadar menjual batu bara tetapi juga mulai masuk ke produk-produk hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah," ujar Arsal.

Ketiga, Carbon Management Program yang mengintegrasikan target pengurangan karbon dalam operasional pertambangan. PTBA telah memiliki serangkaian program untuk memangkas emisi karbon.

Mulai dari mengganti peralatan pertambangan yang menggunakan bahan bakar fosil menjadi elektrik, sistem menerapkan pelaporan produksi secara real time dan daring, hingga reklamasi untuk memulihkan lahan bekas tambang.

"Transformasi tengah dijalankan PTBA untuk menjawab tantangan di masa depan. Dengan langkah-langkah ini, PTBA optimistis dapat menjadi perusahaan yang berkelanjutan dan terus berkontribusi untuk ketahanan energi nasional," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .