KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal pekan ini, mata uang peso Argentina terus mengalami penurunan. Hingga akhir penutupan perdagangan pada selasa (13/8), kurs peso argentina telah berada di level 55,65 peso per dollar AS. Angka tersebut merupakan yang terendah selama tahun 2019. Hal ini sempat memberikan sentimen negatif pada pergerakan rupiah. Meskipun demikian, mata uang garuda masih bisa bangkit dibantu dengan beberapa sentimen global lainnya.
Baca Juga: Trump melunak, harga emas tertekan Runtuhnya peso Argentina disebabkan oleh calon presiden Argentina Alberto Fernandez yang berhasil mengungguli suara pemilihan dari petahana Mauricio Macri. Mengingat, Alberto Fernandez pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha memperbaiki perjanjian dengan Dana Moneter Internasional senilai US$ 57 miliar jika memenangkan pemilihan presiden. Ketidakstabilan politik inilah yang menyebabkan peso terpuruk dan masih ada kemungkinan untuk lebih terpuruk lagi. Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa dampak dari peso argentina yang melemah sifatnya hanya sementara. Alasannya, peso yang terkoreksi bukan disebabkan oleh faktor global melainkan faktor internal. Oleh sebab itu, dampaknya terhadap rupiah tak terlalu besar. “Dampak Peso terhadap mata uang rupiah bagai sengatan listrik,” ujar Ibrahim.
Baca Juga: Rupiah hari ini ditutup menguat 0,56% ke level Rp 14.245 per dolar AS Hal yang sama juga diutarakan oleh Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar. Ia berpendapat bahwa lemahnya peso tak memberi dampak berkepanjangan terhadap rupiah. Deddy berpendapat pelemahan terjadi hanya karena kekagetan pelaku pasar akibat kemenangan dari Alberto Fernandez. Setelah itu, Deddy menuturkan rupiah masih menguat akibat sentimen lain. Adapun yang menyebabkan rupiah masih bisa bangkit dari dampak melemahnya Peso Argentina ialah kondisi perang dagang. Ibrahim dan Deddy sependapat bahwa saat ini kondisi perang dagang sedang melunak. Alasannya, presiden AS Donald Trump kembali memberi pernyataan bahwa akan menunda penambahan tarif baru yang tadinya direncanakan di bulan September mundur menjadi bulan Desember. “Untuk hari ini, kita lihat pergerakan rupiah terapresiasi karena salah satu faktornya datang dari meredanya tensi perang dagang,” ujar Deddy.
Baca Juga: IHSG menguat 0,91% setelah dua hari koreksi Deddy berpendapat pergerakan rupiah masih fluktuatif dalam jangka pendek. Saat ini, faktor pelemahan peso sudah terabaikan dan pelaku pasar berfokus pada sentimen utama yaitu perang dagang. Menurutnya, pergerakan rupiah masih akan terus menunggu update-update terbaru dari kondisi perang dagang AS dan China. Hanya saja, ia menilai rupiah tak akan terdepresiasi terlalu dalam. Ia memperkirakan rupiah masih ada di kisaran Rp 13.900 - Rp 14.300 per dollar AS. “Kecil kemungkinan rupiah bisa melemah sampai Rp 13.500 per dollar AS. Perlu peristiwa yang dahsyat untuk mewujudkan itu,” jelas Deddy. Ibrahim juga menilai proyeksi rupiah masih bagus untuk jangka pendek. Menurutnya peluang rupiah terus menguat masih terbuka lebar. Ia bilang mata uang garuda bisa menguat di level Rp 14.180 per dollar AS. Ibrahim bilang sentimen peso Argentina yang terpuruk merupakan sentimen tambahan sehingga tak mendorong rupiah terus terkoreksi dalam jangka pendek. “Bagaikan orang jatuh, lukanya hanya lecet-lecet biasa. Itu dampak yang dirasakan oleh rupiah,” jelas Ibrahim.
Baca Juga: Data ekonomi China yang mengecewakan bikin harga minyak dunia jatuh lebih 1% Selain itu, Ibrahim juga mengatakan bahwa ekonomi di Indonesia juga bagus. Hal ini tampak ketika dollar menguat, rupiah masih bisa menguat juga. Ibrahim membandingkan PDB Indonesia dengan PDB Singapura untuk membuktikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia ini masih baik. “Perlu diingat, PDB Singapura tahun 2019 hanya 0%, sedangkan kemungkinan besar PDB Indonesia di angka 5,05% dalam kondisi saat ini,” jelas Ibrahim. Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga turut berpendapat terkait dampak Peso Argentina pada pergerakan mata uang rupiah. Ia bilang bahwa dampaknya kecil karena hubungan investasi dan perdagangan antara Indonesia dengan Argentina tergolong kecil. Hanya saja, ia juga mengingatkan bahwa sentimen ini bisa mempengaruhi investor global untuk keluar dari negara berkembang. “Ada pengaruh dari kondisi krisis di Argentina sehingga harus keluar dari negara berkembang, posisi investor global yang tadinya masuk negara berkembang bisa juga keluar. Itu yang dikhawatirkan,” ujar Josua. Selain itu, Josua juga mengatakan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia termasuk kuat walaupun dipengaruhi oleh sentimen-sentimen global. Ketahanan ekonomi yang kuat ini juga yang membantu rupiah untuk tidak terkoreksi terlalu dalam saat terkena dampak dari peso yang melemah. Josua mengatakan bahwa ketahanan ekonomi Argentina lebih buruk dari Indonesia.
Baca Juga: Bermula dari Wall Street, sinyal hijau menjalar ke bursa Asia Pasifik ”Argentina itu inflasi di atas 50%, sedangkan Indonesia defisit fiskal Indonesia sendiri di bawah 2% lalu inflasi kita juga terkendali 3%. Dari sisi pertumbuhan ekonomi juga masih solid,” jelas Josua. Dalam jangka pendek, Josua mengatakan pergerakan rupiah masih akan berada di kisaran Rp 14.200 - Rp 14.300 per dollar AS. Hal ini dikarenakan perkembangan perang dagang yang berubah-ubah dan data-data ekonomi global yang baru dirilis. “Kita lihat sentimen domestik ini belum cukup signifikan, jadi pergerakan rupiah masih sangat bergantung pada sentimen eksternal,” ujar Josua.
Josua dan Deddy memperkirakan rupiah masih ada peluang penguatan hingga akhir tahun. Josua memprediksi rupiah masih bisa di kisaran Rp 14.100 -Rp 14.200 per dollar AS. Sedangkan Deddy mengatakan rupiah berada di level Rp 14.000 - Rp 14.100 per dollar AS.
Baca Juga: AS tunda kenaikan tarif, bursa China sumringah Berbeda, Ibrahim berpendapat dalam jangka panjang rupiah bisa berpeluang melemah. Pelemahannya bisa mencapai Rp 14.500 per dollar AS dengan kemungkinan menguat hingga level Rp 14.120 per dollar AS. Perkiraan analis dan ekonom ini masih terpengaruh sentimen dari perang dagang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi